7 - How to Save a Life

293 55 97
                                    

TAMPAK banyak orang sangat kompeten, menikmati ketertinggalan diriku yang kurang perseptif terhadap sesuatu hal. Apa salahnya untuk berbicara jujur, sih? Mengapa perlu memproklamirkan orasi bahwa akan lebih baik jika orangtuaku yang menjelaskan? Mereka nyaris tidak memiliki waktu untuk mengabari putrinya kalau masa ekspedisi bisnis diperpanjang, mengapa mereka ingin repot meluangkan sebelas menit kritis untuk hanya menguraikan kebenaran?

Aku menyadari, belakangan ini, aku belum sepenuhnya jujur dengan semua orang, tetapi aku cukup memafhumi kapan saatnya untuk mengakui apa yang sebenarnya terjadi, alih-alih meninggalkan mereka dalam kegelapan.

Kak Seokjin tidak membantu, untuk pertama kalinya, aku tidak sejalan dengan spekulasinya. Benci? Tidak, kata itu terlampau kuat. Lagipula satu malam saja belum sanggup melahirkan kebencian komprehensif. Kecewa? Sudah pasti, karenanya aku kembali ke rumah dan tidur sendirian, mendekap senyap padat, merefleksikan seluruh tragedi.

Aku meloloskan tawa hambar, isi kepala yang bercabang sukses membuatku bertingkah eksesif, hiperbola.

"Kak Emori?"

Aku membalik badan, mengernyitkan dahi, menatapi Josephine yang sedang berdiri menyandarkan diri di kusen pintu kamar. Oh, sungguh, aku perlu menarik kembali kunci cadangan yang kuberikan pada orang lain. "Sedang apa di sini? Kalau Kak Seokjin tahu, nanti kamu dihukum lagi, lho."

Josephine diam, hanya mengumbar senyum lebar, berlalu tanpa kata menuju pemutar vinil yang terletak di atas nakas. Lantunan klasikal dari jemari kawakan Ludwig van Beethoven secara naluriah memangkas keheningan, rangka yang semula tegang berangsur rileks.

Setelah memastikan semua sudah sesuai pretensi, Josephine bergabung denganku di tempat tidur, mengangkat selimut guna menutupi tubuh mungilnya dan menghadapi mimik lesu milikku. "Kupikir kamu mungkin butuh teman."

"Mempertaruhkan waktu skateboard-mu untukku? Wah, haruskah aku merasa tersanjung?"

Josephine mendengus. "Dihukum atau tidak, aku akan tetap berhasil menyelinap keluar. Tidak ada yang bisa menghentikanku, bahkan Papa."

"Serius, Jo, berhentilah melakukan itu. Suatu hari, dia bisa mengalami serangan jantung jika kamu terus-terusan seperti ini," ucapku prihatin. "Kak Seokjin tidak se-enerjik dulu, sudah waktunya kamu mempertimbangkan juga apa yang dia inginkan untukmu."

Kecintaan Josephine pada skateboard sebanding, serupa dengan kecintaan Jimin pada NFL, keduanya berbagi animo yang kukuh terhadap olahraga masing-masing. Kecuali, divergensi di kubu Josephine adalah ketidaksetujuan Kak Seokjin terhadap hobi yang mungkin sudah merangkap menjadi impian pekerjaan masa depan.

Bukan menghakimi perangai tomboi sang anak, lebih kepada mengkhawatirkan repetisi insiden patah tulang pelvis yang diderita Josephine sebelum proses adopsi terjadi.

Aku pernah diceritakan sedikit kehidupan Josephine di Zion of Jerusalem, panti asuhan yang sudah menjadi rumahnya semenjak lahir. Ordonansi restriktif sesuai hakikat gereja, studi teologi yang dilaksanakan nyaris setiap hari, sedangkan aku memahami watak Josephine memang sudah dijejali oleh segi pembangkang.

Tidak heran, ketika kesempatan untuk menggenggam independensi akhirnya datang, rasa candu absolut melekat begitu saja. Namun, ada satu hal yang tidak kuketahui, dan sepertinya, bukan hak yang patut disentuh oleh kuriositasku. Kak Seokjin maupun Kak Audrina seringkali melewatkan fraksi tentang orangtua biologis Josephine.

"Astaga, Kak, kamu berbicara seolah Papa sudah berumur enam puluh tahun."

"Aku hanya memperingatimu," kataku, tersenyum tipis. "Hidup ini, atau nyawa sekalipun, tidak pernah menjadi milik kita seutuhnya. Pada titik tertentu, tanpa waktu yang dapat diprediksi, kita semua akan menyaksikan bab terakhir dari kehidupan seseorang yang kita cintai. Papamu termasuk."

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang