15.1 - State of Sophistry

144 47 31
                                    

Marina Lin — this is what self-destruction feels like



────────────



[SUMMER : 2010]

ESME beropini bahwa ada lebih banyak argumentasi untuk mengagumi Korea Selatan, beberapa yang mayoritas orang gagal melihatnya. Bukan hanya perihal intermeso atau standar kecantikan yang mereka miliki, lebih dari itu. Tradisi, kultur, edukasi, bahkan cara warga lokal bertutur dan bersikap kepada satu sama lain.

Begitulah bagaimana dia mengungkapkan kepada semua orang yang bertanya alasan mendekam di negara ini, dia terus-menerus berinisiatif menutup diri dalam hipokrisi semacam itu. Tentu, Korea Selatan merupakan negara yang indah, namun sejujurnya, tidak pernah sekalipun Esme terpikir untuk membuang Amerika sebagai identitasnya.

Baginya, Busan hanya sekadar jalan keluar dari kehidupan terstruktur miliknya.

Karena itu, secara konstan, Esme mengelabui sang adik, memasang topeng palsu agar si bungsu yakin bahwa dia bahagia di sini. Ketika faktanya, Esme seringkali merindukan Emori, tersiksa menginginkan suasana rumah merengkuh kerapuhannya setiap malam. Esme tahu apa yang dia lakukan cukup ekstrem, mengecoh orang-orang terdekat bahkan diri sendiri.

Tetapi, lebih baik seperti itu daripada harus terjebak langsung dengan titel calon pemegang saham preferen Gray Aceite, kebanggan dan suksesi Benoit Gray.

Ya, awalnya, Esme memang tampak tertarik sebab Benoit terlihat sangat antusias dengan gagasan itu. Pun Esme tidak dapat menyangkal jikalau kausa dirinya menjadi yang terpilih semata-mata karena dialah yang tertua, serta ketidakinginan membiarkan Emori tertekan lantaran masa depannya telah ditentukan oleh sang Ayah.

Karena pada akhirnya, hal-hal akan selalu finis pada dua opsi; Esme atau Emori.

"Apakah masih sakit?"

Tetapi permasalahannya, tidak ada Catriona Deacon dalam agenda. Dia tidak pernah dimaksudkan untuk mengambil bagian di dalamnya, juga Esme tidak seharusnya terikat dalam afiliasi antara dokter dan pasien tersebut. Tidak ada yang sinkron dengan rencana, namun di sinilah Esme menelisik kenyamanan darinya setelah menghadapi segudang komplikasi.

Sepasang netranya beralih dari layar plasma ke arah si lawan bicara, Esme dapat merasakan atmosfer beradaptasi divergen setiap kali Catriona menyeka luka di pelipis dengan antiseptik. Ada setumpuk sentimen yang memusat pada titik inti raga, namun Catriona cukup pintar agar tidak menginvasi partisi yang kembali terbangun dalam diri si gadis.

Esme mengetahui dia sedang mengekang seluruh antipati dan kritik, itu sudah tersimpulkan di sepenjuru raut muka, tetapi Esme menolak untuk melayangkan inkuiri. Apa gunanya? Catriona telah memberikan segelintir eksplanasi bahwa dia bukan penggemar berat Jimin, jadi Esme sangat yakin apa pun yang terpencar dari kedua belah birai hanyalah oposisi terhadap si pemuda.

Apabila setiap individu cakap dalam menganalisis situasi, Esme cukup percaya mereka akan berpihak pada Catriona supaya melepaskan amarahnya. Dan ya, Esme tahu dia seharusnya kontributif terhadap keputusan si dokter namun entah mengapa dia hanya tidak mampu mengerahkan keberanian untuk berlakon sedemikian rupa.

Park Jimin memang merupakan alasan Esme terduduk di ruangan kelabu menjemukan dengan raksi partikular disinfektan yang mengusik penghidu ini, yang membuatnya terjerat hanya mengobservasi tirai lusuh berkelir hijau dan lisplang yang membubuhkan pemandangan eksterior klinik, tetapi dia sungguh tidak bisa mengartikulasikan bahwa segalanya adalah kesalahan Jimin.

Ada sesuatu dalam tantrumnya, rasa sakit yang luar biasa di dalam. Esme menyaksikan itu, setiap menit, sekon. Terkadang terasa seperti sakelar, emosi bertukar bergerigi sehingga eksplosi tidak dapat terelakkan. Ketegangan yang menumpuk di dalam raga, itu yang membuatnya bergerak impulsif.

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang