KETIKA segala sesuatu beralih sukar, pertahankan kepala tetap tinggi. Jangan berlari, tinggal dan hadapi semuanya. Jangan menangis, simpan air mata. Tidak ada istilah menjalani kehidupan yang mudah, kamu tidak akan pernah cukup, namun pada titik tertentu, kamu akan menyadari bahwa masa-masa sulit itu sangat berperan besar dalam pengolahan jati diri, seperti apa kamu akan menjadi di masa mendatang.
Percaya atau tidak, paragraf tersebut berasal dari Benoit Gray. Seorang figur Ayah karismatis yang tampak kini hanya terbelit pada aksis periode di mana keluarga Gray masih beranggotakan empat alih-alih tiga.
Untuk beberapa alasan, dulu, Papa selalu bertutur dan percaya dengan setiap serat dari dirinya bahwa wanita dalam keluarga Gray dimaksudkan, dinubuatkan menjadi pemimpin. Pionir dalam mengarahkan para pria tetap pada arah yang tepat, penghalang atau mediator tatkala konflik muncul.
Petuahnya mengudara setiap malam, beliau akan berkoar mengingatkan, "Keluarga Papa sangat menjunjung tinggi matriarki. Para wanita dihormati, didengar, mereka dominan. Tradisi itu ditinggalkan seiring berjalannya waktu, tapi kemudian, Papa menyadari bahwa itulah yang membuat kami seperti sekarang. Tanpa campur tangan wanita, tak satu pun dari kami sanggup menyentuh keberhasilan sendirian."
Di akhir lektur, Papa menegaskan bahwa yang diperlukan hanya satu orang untuk memulai dan mengubah segalanya. Itulah dorongan sehingga Papa melakukan semua yang dia bisa untuk mempertahankan tradisi, kendati Nenek telah mengatakan padanya bahwa tidak masalah jika Papa meninggalkan kaidah arkais tersebut, bahkan menurut Nenek, tradisi matriarki tidak adekuat disebut sebagai warisan Gray. Namun, baginya, Nenek tetap merupakan sosok yang luar biasa—menjaga, membesarkan lima anak lelaki hingga mencapai kesuksesan spektakuler tanpa Kakek mendampingi.
Kurasa Papa mengangankan aku dan Esme mampu meneruskan antusiasme Nenek dalam menjalani kehidupan. Karena dia selalu berkata, "Kalian harus dihormati, bagaimana pun caranya. Jadilah wanita independen yang sukses, tidak harus melihat lelaki sebagai satu-satunya sumber kehidupan. Untuk kalian berdua, seorang laki-laki cukup sebagai pelengkap saja."
Ya, ada suatu masa saat Papa benar-benar nyata, hadir dalam konteks kehidupanku, membagi waktu demi menghaturkan beragam stori, nasihat, dan memastikan bahwa aku bertransformasi dari adolesens fluktuatif menjadi sosok wanita kualitatif.
Namun, bodoh sekali untuk berpikir bahwa aku memang memenuhi kriteria, karena jika iya, dari awal Papa pasti melibatkanku juga dalam bisnis keluarga, bukan hanya kakak kandungku.
Berdiri payah di depan pintu Pak Namjun dengan restan air mata, kaki nyaris bertekuk, kedua tangan mengepal gemetar di sisi tubuh, iris memandang nanar kayu mahoni seolah kerlingan tajam mampu memancarkan sinar artifisial bengis, butuh segalanya dalam diriku untuk tidak mendobrak dan bersimpuh di hadapan dosen tersebut, mengingat reaksi agitatif Papa yang dapat meneror kewarasan jikalau mendengar kabar inferior ini.
Mungkin memang itu yang perlu kulakukan guna mendongkrak nilai, bukan? Hanya saja, ada sesuatu yang menghalangi diriku agar tidak melakukan hal konyol tersebut. Tidak, ini bukan masalah harga diri atau status sosial, namun satu suara di kepalaku berdengking bahwa inilah diriku. Lemah, tidak berguna, menyusahkan. Seberapa besar kerja kerasku, sejauh apa aku berjuang dan berkorban, itu pasti berakhir sia-sia dengan Papa yang tidak akan pernah melihatku sebanding dengan Esme. Selalu begitu.
"Haruskah aku menyerah?" gumamku.
Ya, mungkin itu opsi yang paling masuk akal, jika saja Jimin tidak merecoki dengan secara tiba-tiba mematung di hadapanku, menginvasi celah antara aku dan ruangan Pak Namjun, dan terlihat dari pandangan tak sukanya, aku asumsikan dia mendengar kalimatku barusan.
"Jika ingin menyerah, biar kubantu."
Aku tahu Jimin sedang jengkel karena penalaran deduktif tersebut, itu sebabnya dia berkata demikian, alih-alih tersinggung aku hanya tersenyum masam dan membalas seadanya, "Tidak perlu, aku sudah punya banyak persediaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fanfiction❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020