6 - A Lie Guarded

345 56 138
                                    

KETIKA penciuman menangkap aromatik disinfektan berbaur dengan iodoform, aku langsung mampu menebak ilustrasi ruang kesehatan tanpa mengekspos kedua netra. Lagipula, ini sangat memalukan. Seharusnya, imunitasku sudah terbiasa dengan aku yang seringkali melewatkan sarapan.

Lantas bagaimana bisa hari ini aku pingsan di kampus, di tengah kerumunan mahasiswa, terlebih di hadapan dosen pengganti yang terlampau cerdas dengan filosofi transenden?

Sungguh, kesialan mutlak.

Sejauh ini, kuorum kedatanganku ke ruang kesehatan tidak lebih hanya sekadar mengambil obat sakit kepala, mengobati luka minor Jimin sehabis latihan sembari mencuri momen berdua, atau mengantar Taehyung untuk tidur siang. Walaupun pada akhirnya, Imogen selalu datang, merecoki, dan mencerca kami berdua dengan lektur 10 perilaku buruk yang menghambat Anda sukses, yang aku tahu hanyalah kreasinya sendiri.

Beberapa memori manis dan komikal bersama kekasih, juga kedua sahabat tetap tidak berhasil mengubah perspektifku terhadap ruang kesehatan. Ada ketidaksukaan tersendiri di dalam diriku terkait ruangan ini, entahlah, hanya mengingatkan pada sesuatu.

Jika harus jujur, aku sebenarnya takut.

Terbangun bukan pada realita, melainkan terperangkap dalam ilusi, di mana fragmen yang merenyuhkan hati diputar secara berulang. Tempat ini terlalu identik dengan rumah sakit, bahkan raksi khas silinder pensanitasi tangan tidak jarang membuatku mual.

Tentu saja, kalau bukan Esme yang menciptakan antipati ganjil tersebut, aku tidak akan mati-matian menghindari ruangan ini. Terdengar berlebihan, ya? Well, beberapa studi aktual menyatakan bahwa bau rumah sakit kapabel memicu ingatan mendalam tentang insiden tidak menyenangkan sebelumnya, kurasa ruangan ini pun tidak berbeda.

Namun, menyadari ketidakinginan untuk bermalam di sini, aku memberanikan diri membuka mata.

Perlahan, langit-langit kamar menginvasi penglihatan, iluminasi lampu yang terlalu terang agak memedihkan manik—abrasif, menyebabkan migrain kembali menjalar sengit di kepala. Pigura aforisme dan cetakan-cetakan komersial tersusun artistik di dinding kelabu, beberapa parafin aromaterapi berderet rapi di sepanjang panel jendela, televisi di hadapanku menyala namun dengan volume yang dikecilkan.

Menggunakan kedua siku untuk menopang badan, aku melirik ke luar jendela dan menemukan cakrawala legam. "Kenapa langitnya sudah gelap?"

"Karena sudah malam."

Tersentak kaget, kepala berpaling dalam satu gerakan whiplash, mulutku sedikit terngaga, menyahut kikuk, "O—Oh, Pak Namjun. Kok bisa di sini?"

Duduk di sofa dengan segelas kopi di meja, Pak Namjun terlihat sedang berkontemplasi dengan tumpukan kertas yang aku yakin adalah tugas atau hasil kuis, tidak seinci pun pupilnya menyimpang ke arah lain, namun birai tetap tersingkap untuk merespons, "Menurutmu? Tidak mungkin 'kan kamu tiba di ruang kesehatan dengan karpet terbang?"

Duduk di sofa dengan segelas kopi di meja, Pak Namjun terlihat sedang berkontemplasi dengan tumpukan kertas yang aku yakin adalah tugas atau hasil kuis, tidak seinci pun pupilnya menyimpang ke arah lain, namun birai tetap tersingkap untuk merespon...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang