HITAM yang membentang di antariksa terasa lebih senyap dan kejam, awan kolosal corak abu basah menggulung langit serta kegelapan pekat. Angin sedingin es berhembus menghantam tulang, suara hewan nokturnal tersemat seperti simfoni yang keliru di telinga, atmosfer terhempas ofensif hingga sulit untuk sekadar bernapas.
Mendadak malam menjadi muram, tanpa bulan dan lapisan asterik membekam di balik panorama orbit. Untuk pertama kali, musim panas tersemat begitu apatis dan terisolasi. Aku melingkarkan kedua lengan lebih erat kepada tubuhku, menarik kardigan guna merelokasi temperatur yang menghangatkan. Buih napasku terlihat jelas di bawah iluminasi sporadis yang masih menerangi arboretum.
Ya, selepas meninggalkan Highlands, aku nekat berkendara ke tempat yang seharusnya paling kuhindari. Fairhope Arboretum, lokasi di mana Esme menghabiskan detik-detik sebelum terbaring tak bernyawa. Mungkin terlihat agak menyeramkan di malam hari lantaran aku adalah satu-satunya pengunjung, namun aku tidak keberatan.
Separuh peristiwa hari ini telah menarik seluruh vitalitas hingga tetes terakhir dari raga, kurasa bahkan hantu pun akan berpikir dua kali guna merasuki atau mengolokku.
Dan seandainya realita tercantum berbeda, kurasa tempat ini mampu menyerahkan banyak kenyamanan dan konsolasi apabila kenangan mengerikan dengan Esme tidak ada. Maksudku, bagaimana tidak? Segala sesuatu tentang tempat ini hanya mendesingkan keindahan.
Lanskap ekstensif dan hijau dengan pepohonan rimbun di sekeliling, dilengkapi juga oleh gazebo bergaya Victoria yang terbungkus kaca dan didekorasi dengan mewah di setiap sisi guna memberikan pengalaman tiga dimensi yang dramatis, lampu-lampu estetis, karakter berkostum menawan, dan kidung musik khas vakansi.
Semuanya sungguh luar biasa.
Kalau saja aku tidak berdiri bersemuka langsung dengan area Esme bunuh diri.
Rentetan hela napas keluar dari birai saat satu memori kembali ke pikiran. Itu berbulan-bulan sebelum hari Esme meninggalkan kehidupan, aku mengingat jelas langit penuh bintang memperelok kanvas lapang di atas sana dan dia menyampaikan bahwa tidak peduli seberapa luas sebuah ruangan, pada akhirnya di malam hari, di bawah magis kegelapan, semuanya hanya akan menyusut, tampak kecil dan menyesakkan.
Itulah yang kurasakan di sekitar tempat ini.
Sesungguhnya, ini cukup membingungkan. Sepekan lalu aku sangat takut berada di sini, tetapi sekarang aku tidak tahu lagi perasaan mana yang mampu mewakili suasana hati. Ada begitu banyak hal yang terjadi sekaligus sampai aku enggan untuk mengakui semuanya, dan hanya membiarkan kehampaan absolut memahat rongga tersendiri dalam jiwa.
Karena di dunia yang masif akan probabilitas, mengapa harus Jimin dan koneksinya dengan kematian Esme?
Mengapa harus kekasihku dan kakak perempuanku?
Seberapa klise cerita kami akan berakhir?
Namun kemudian, advis Mama terngiang dalam benakku sewaktu kecemasan seringkali merundung diri. Ya, aku memang memiliki histori dengan serangan kecemasan jauh sebelumnya, tetapi Mama selalu berhasil menenangkanku dengan kalimat yang kini kuketahui hanya sebatas kalimat belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quarterback
Fanfiction❝I'm truly sorry, but it's time you got to be your own quarterback.❞ ──────────── Park Jimin • Female OC © yourdraga 2020