2 - Monday Meltdown

662 81 93
                                    

"AH, benar 'kan dugaanku."

Entah sudah berapa banyak kuantitas menit yang berlalu setelah aku membongkar isi tas dan berharap menemukan bungkus Seroplex di sana. Kebisingan terjadi di tengah kesunyian kediaman keluarga Gray, cakrawala mulai bersemarak nyata menyambut hari, bias mentari menerobos jendela kristal yang berderet membentangi keseluruhan rumah—mempercantik kompilasi porselen Moonflask milik Mama, serta koleksi hablur Ruyao Washer milik Papa.

Setelah Jimin mengantarku pulang semalam, aku langsung beranjak ke kamar untuk tidur, tidak memeriksa apakah ada yang hilang dari tas atau tidak. Seharusnya aku tahu, Jimin tidak akan menerima alasanku dengan mudah. Dia selalu pandai merobohkan setiap dinding masif dalam diriku, mengobservasi hiperkritis saat aku berkata jujur atau bohong.

Di antara Taehyung dan Imogen, Jimin yang paling sulit untuk dikelabui. Urusan kesehatan mental-ku sungguh mengusiknya hingga ia sering diam-diam menjarah obat tersebut, dan membuangnya tanpa sepengetahuanku.

Menurutnya, sih, aku tidak menyadari aksinya selama ini, padahal pernah satu kali Jimin lengah dan meninggalkan jaketnya di kamar. Aku hendak akan mengembalikannya, namun tidak sengaja menyentuh kantung jaket yang agak menggembung. Penasaran, aku mengintip ke dalam.

Dan benar saja, aku menemukan sebungkus Seroplex milikku di sana, yang sempat aku kira selalu menghilang misterius, mungkin diambil oleh hantu James 'Slag' Wormwood atau semacamnya. Ternyata salah, hantunya adalah Park Jimin, kekasihku sendiri.

Aku tahu maksud dari sikapnya memang baik, Jimin tidak ingin aku menjadi adiksi dengan antidepresan, secara tidak langsung menitahkan bahwa lebih baik aku bergantung padanya daripada obat. Tetapi, aku juga tidak bisa berpura-pura jikalau Seroplex tidak menyerahkan tambahan katarsis dalam diriku.

Salahkan insiden tiga tahun lalu, dan kedua orangtua dengan komitmen mati mereka.

"Hah, aku merasa bersalah. Maaf, ya, Jim," gumamku kala membuka dan memperhatikan kabinet yang dipenuhi dengan tumpukan persediaan Seroplex. Pun mengambil satu butir, ekor mataku menangkap sebuah sticky note di pintu lemari pendingin. Aku mendekat, membacanya teliti sebelum tersenyum miris. "Pergi ke Washington selama dua minggu tanpa memberitahu anaknya? Kejam."

Ini salah satu alasan mengapa aku menyimpan banyak antidepresan, karena saat aku benar-benar membutuhkan bantuan secara fisik maupun mental, Mama dan Papa jarang berada di sampingku. Hubungan kami renggang selepas kakak kandungku, Esme, meninggal.

Siapa yang harus disalahkan? Aku?

Hanya kebetulan aku sedang berada di sana ketika Esme memilih jalannya sendiri, sibuk dengan duniaku karena hari itu juga bertepatan dengan hari jadi kelima hubunganku dan Jimin. Apa tindakanku terlalu egois karena mengabaikan Esme, dan lebih menyisakan waktu pada Jimin yang saat itu juga sedang berada di Busan dan dalam suasana hati yang buruk?

Pertanyaan itu tidak pernah menemukan jawaban.

Aku bingung, Esme tampak baik-baik saja ketika berbicara padaku sebelum aku menelepon Jimin. Bahkan, aku sudah menawarinya untuk menjelajahi Arboretum bersama, tetapi dia menolak dan justru mengibaskan tangannya santai kepadaku seolah mensinyalir untuk melanjutkan aktivitas.

Penampilan bisa menipu, ternyata.

"Kamu pergi ke mana, sih? Kenapa tidak mencegahnya? Apa yang kamu lakukan, Emori?" Bentakan lirih dan geram yang keluar dari kerongkongan Papa masih terngiang jelas di kepalaku hingga detik ini. Tangisan tak berujung Mama menjadi latarbelakang kidung yang menyakitkan, tanganku yang berlumuran darah menumbuhkan rasa bersalah berapi-api dalam sanubari. "Tujuanmu hidup bukan hanya sekadar mengurusi pribadi kamu sendiri! Kondisi Esme tidak stabil, dan kamu tidak tahu itu, 'kan? Papa membesarkanmu bukan untuk jadi budak cinta, saja!"

QuarterbackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang