"Dira!"
Cewek itu nggak menggubris panggilan Yohan.
"Dirandra!" Yohan kesel terus berdiri secara tiba-tiba di depan Dira, "Gue manggil lo."
"Anjing, lu tuh ya!" Dira jadi nabrak Yohan, "Minggir."
"Ada apaan sih?" tanya Yohan dengan susah payah menyamakan langkahnya dengan Dira.
Dira berhenti, maka Yohan ikutan berhenti. Tatapan cewek itu tertuju pada sesuatu.
"Oh, Om itu..."
Dira melotot, "Udah dibilangin dia tuh gak setua itu."
"Kalau lo ditolak lagi awas aja mabok-mabok lagi." kata Yohan terus jalan balik ke ruangannya.
Dira menatap Wisnu yang sibuk dengan beberapa berkasnya, "Nggak akan." katanya lalu mengibaskan rambutnya, "Siapa yang mau nolak seorang Dirandra?" terus jalan mendekati Wisnu dengan percaya diri.
"Masih inget juga kalau punya tanggung jawab?" sindir Dira.
Wisnu diem aja. Masih sibuk ngecek data-data.
"Kemana aja?" tanya Dira lagi.
"...."
Dira gemas terus merampas salah satu kertas di tangan Wisnu. Bikin Wisnu mau nggak mau harus meladeni cewek itu, "Balikin,"
"Nggak."
"Dira, ini jam kerja."
"Iya tahu." kata Dira, "Jawab dulu. Kemana aja kok baru kelihatan? Jangan karena Mas karyawan terbaik ya bisa seenaknya. Emang kamu pikir kantor ini punya bapak Mas apa?"
"Bukan. Punya bapak kamu." kata Wisnu, "Sini mana kertasku!"
"Mas, masih sayang aku nggak?
Wisnu makin geregetan. Bisa-bisanya ngomongin itu disini.
"Ati-ati dibelakang Mas ada sesuatu yang nyeremin." kata Dirandra terus lari gitu aja.
"DIRA!"
🍊🍊🍊
"Makasih." kata Dira antusias banget waktu Wisnu bawain dia burger sama cola.
Muka Wisnu masih kesel banget.
Mereka — Dira yang maksa — akhirnya makan siang bareng di taman yang nggak jauh dari kantor.
"Siniin seladanya." Wisnu langsung hafal kalau Dira ini nggak suka sayur.
"Hehehe." Dira tertawa karena tadi dia mau buang sayurnya.
Jadilah Wisnu makan burger dengan ekstra selada.
"Gimana Mbak Kasih sama Kiara?" tanya Dira membuka obrolan.
"Baik."
"Agak panjangan dikit dong jawabannya." rengek Dira.
Wisnu menghela nafas panjang, "Baaaaaaaiiiiiikkkkkkkkkkk."
Dira ketawa sambil mukulin Wisnu, "Nggak gitu juga."
"Apaan sih, ah!" kata Wisnu gemes kalau Dira udah ketawa gini. Kebiasaan tangannya mukul-mukul Wisnu.
"Papamu gimana?"
"Kamu kangen Papaku?"
"Ck, Dira ih. Serius." kata Wisnu.
"Baik."
"Tadi nyuruh aku buat agak manjangin jawaban. Sekarang kamu malah gitu." kata Wisnu.
"Baik kok, sayang." kata Dira.
Wisnu kaku.
"Kenapa? Kamu masih baper?" tanya Dira sambil ketawa.
Hening.
"Ah, nggak mungkin. Kan waktu itu kamu yang putusin aku."
"Cepet habisin burgernya. Keburu gak enak." kata Wisnu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
Keadaan kembali hening. Kalau dibilang hanya karena latar belakang yang berbeda adalah penyebab mereka putus, maka kalian salah.
Kata Dira, Wisnu itu punya banyak 'pintu' dalam hidupnya yang nggak semua orang bisa membukanya. Cowok ini punya banyak lapisan untuk menutupi sesuatu.
Seperti saat ini.
Di belakang Wisnu, Dira bisa 'melihat' banyak bayangan yang lalu lalang.
'Banyak banget yang kamu pendam, Mas.' batin Dira dalam hati, 'Aku bisa baca orang lain tapi nggak untuk kamu.'
"Wisnu," kata Dira tiba-tiba.
Wisnu berhenti makan.
"Seberapa banyak luka yang kamu sembunyikan dari aku? Seberapa banyak kesulitan yang kamu sembunyikan dari orang-orang?"
Mbak Dira dan pesonanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Color Palette
Fiksi Penggemar[SUDAH TERBIT | PART MASIH LENGKAP] Paket Novel available on Shopee, Tokopedia, and Online Bookstore Partner | Sunflower Publisher (for order, link on my profile) Diana Ruby Inaya, seorang lulusan Sarjana Pendidikan yang masih belum yakin dengan ge...