Setiap orang pasti akan mendambakan sebuah kehidupan yang berkecukupan. Setidaknya, mereka tidak akan khawatir setiap keuangan yang akan selalu terkuras untuk mencukupi kehidupan. Tidak akan ada rasa was-was pula saat melakukan pekerjaan yang menurutnya cukup baik tetapi bagi perusahaan mereka tidak memadahi. Tidak perlu selalu melihat harga barang yang akan dibeli tanpa melihat isi dompet.
Namun, begitulah kehidupan. Manusia tidak bisa memilih nasibnya.
Salah satunya adalah Jaehyun.
Orang akan selalu memandangnya seperti dia adalah sosok paling beruntung di dunia. Kehidupan yang didapatkan adalah idaman bagi orang lain.
"Kau beruntung ya, pergi ke kampus selalu memakai mobil bagus. Tidak perlu berdesakan di bus."
"Dari awal pasti uang kuliahmu sudah lunas. Tidak perlu pusing memikirkan kerja paruh waktu."
"Lulus nanti pasti sudah menjadi CEO di perusahaan Ayahnya. Wah, Jaehyun beruntung sekali!"
Seharusnya, Jaehyun bersyukur.
Seharusnya, Jaehyun merasa beruntung.
Namun, setiap hal itu selalu diingat, justru rasa bersalah yang Jaehyun rasakan. Merasa tidak percaya diri setiap ingin melakukan apa saja, sosok tampan dan rupawan itu memang terkenal di kampus. Lelaki berlesung pipi tersebut lebih memilih untuk tidak terlihat, menolak beberapa ajakan untuk ke pesta maupun klub kampus.
Seberapa keras kau berusaha, hidup akan selalu tidak adil bagi sebagian orang.
"H-Hyung?"
Jemari Jaehyun segera menghapus setitik air pada sudut matanya, ia mendongak dan menemukan sosok yang ditunggunya sedari tadi. Senyum manisnya begitu khas sampai ia juga membalasnya dengan yang sama.
"Hai, Jaemin."
Pemuda dengan surai cokelat itu duduk, kepalanya tertunduk dengan jemari-jemari yang tak berhenti membuka dan mengatup. Mereka duduk di taman kota pada petang hari.
"Su-sudah la-lama?"
"Tidak," balas Jaehyun seraya membuka resleting tasnya dan mengeluarkan sebuah bungkus plastik, "Tadi aku melihat ada kedai dan membeli tteokbokki. Ayo makan," ajaknya.
Sebuah sumpit diberikan Jaehyun pada Jaemin, senyum anak itu merekah. Makanan itu adalah favoritnya.
"Berdoa dulu."
Keduanya memejamkan mata sejenak, selesainya Jaehyun bisa melihat bagaimana lahapnya Jaemin menikmati makanan tersebut. Tangannya mengambil sebuah tisu yang sudah disiapkannya tadi dan membersihkan sisa kuah di sekitar bibir sosok yang lebih muda.
Porsinya lebih banyak dari kedai biasa, sengaja Jaehyun memesan demikian. Setelah beberapa saat menikmati, kening lelaki itu berkerut saat Jaemin menyudahi makanannya.
"Kenapa tidak dihabiskan?"
"U-untuk I-ibu."
Tangan Jaehyun terulur untuk menghentikan Jaemin saat menutup makanannya kembali, tetapi ia mengambil satu bungkus yang tersisa tadi untuk dibawa pulang kemudian diberikannya pada anak itu.
"Ini untuk Ibumu, yang ini harus kau habiskan, mengerti?" jelasnya.
Kepala yang tertunduk tadi kini mendongak, di depannya Jaehyun menyunggingkan senyum yang lebar membuat Jaemin juga membalasnya. Tawa kecilnya terdengar, ia menganggukkan kepalanya berkali-kali. Merasa bahagia atas perbuatan sosok yang lebih tua.
Tanpa disadarinya, Jaemin adalah sosok guru kehidupan bagi Jaehyun. Hal-hal kecil yang diabaikan kini membuatnya tersadar bahwa bersyukur tidak harus dilakukan melainkan rasa syukur harus ia rasakan.
Semua berasal dari hati.
—
Semoga saya bisa menyelesaikan cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only The Brave✓
FanfictionSeberapa keras kau berusaha, kehidupan akan selalu tidak adil bagi sebagian orang. °° Hidup itu bukan berat, ketika kau memiliki kekuatan dan keberanian untuk menjalaninya.