Sorry for typo(s)
Seorang laki-laki berpakaian formal dengan setelan jasnya membawa Jaemin keluar dari rumah sakit hari ini. Kepalanya hanya tertunduk selama mereka melewati lorong, perasaannya tidak nyaman. Namun, pemuda Na tersebut juga tidak mengatakan sesuatu. Hanya mengekori ke mana beliau akan pergi.
Sebuah tas yang berisikan dokumen telah dibawa olehnya, Jaemin hanya mendengar kata panti asuhan di sana. Tak ada pertanyaan yang akan dilontarkan olehnya, pemuda Na hanya pasrah dalam kehidupannya kali ini. Toh, sudah tidak ada Ibu di dunia ini, pikirnya.
"Nana!"
Suara yang familiar tersebut menarik perhatian Jaemin, langkahnya terhenti sembari menoleh ke belakang dan menemukan sosok Mark berlari menghampirinya. Pandangan polos itu selalu menjadi reaksi utama pemuda Na.
Namun, Mark selalu menunjukkan senyum miliknya. Tangannya terulur mengusap surai sang adik lalu ia menyodorkan sesuatu yang hampir terlupakan beberapa hari kemarin.
"Buntaengi tidak ingin kau tinggal."
Senyum tipis pemuda Na itu terukir, menerima boneka berwarna merah muda tersebut. Maniknya menatap Mark di sana, tanpa mengatakan apapun Jaemin mendekat untuk memberikan sebuah pelukan.
Lengan Mark refleks melingkar pada tubuh Jaemin, saling menyalurkan kerinduan yang beberapa hari ini mereka tidak berinteraksi seperti biasanya.
Upaya untuk membawa pulang Jaemin sudah dilakukan oleh Tiffany, tetapi pihak dinas belum mengizinkannya entah apa alasan yang disembunyikan oleh mereka.
Pelukan itu terlepas, keduanya saling melempar senyum menyejukkan. Jemari Mark mengusap lembut pipi tirus tersebut, terasa baru kemarin ia melihat Jaemin belajar berjalan kini justru dipisahkan.
"Nana tahu kan, Hyung tidak akan ke mana-mana?"
Jaemin menganggukkan kepalanya dengan senyum tipis, ia sangat tahu bahwa Mark akan selalu ada untuknya. Namun, sekarang mungkin saatnya pemuda Na itu tidak akan merepotkan bagi sosok yang sudah dianggap sebagai kakaknya tersebut.
***
Wajah baru yang ditemui Jaemin bukan hanya satu orang, di hadapannya ini ada sekitar belasan anak berdiri menyambut kedatangannya. Mereka semua tersenyum seakan menerima dirinya, rasanya begitu aneh. Lebih buruk dari saat ia masuk sekolah hari pertama.
Sosok wanita dengan tingginya hampir sama dengan pemuda Na itu berjalan menghampiri, senyumnya terukir hangat kemudian merangkulnya seakan putranya sendiri.
"Ini yang namanya Jaemin, ya?" tangan itu menangkup wajahnya lembut, "Tampan sekali."
Tidak ada reaksi yang ditunjukkan oleh Jaemin, ia hanya memandang wanita tersebut seraya memeluk Buntaengi di dada serta koper yang sudah ada di sampingnya.
Selanjutnya, ia hanya bisa mendengar percakapan wanita penjaga panti serta pegawai dinas. Belasan anak tadi kini kembali ke kegiatannya masing-masing, tidak ada yang mendekat ke arahnya.
"Ayo, kita ke kamar Jaemin dulu."
Berjalan mengekori wanita bersurai panjang itu, mereka menyusuri lorong yang panjang dan menampilkan beberapa kamar yang berjejer. Ruangan Jaemin berada di ujung dekat sebuah jendela besar.
Derit pintu terdengar saat dibuka, wanita itu berjalan memasukinya seraya meletakkan koper di dekat ranjang. Dalam satu kamar, Jaemin bisa melihat ada dua ranjang yang berjarak dengan lemari di antaranya.
Salah satu ranjang sudah ada yang menempati, dia tertidur membelakangi pintu. Jaemin sudah duduk melihat suasana di jendela luar.
"Nanti kalau Jaemin menginginkan sesuatu, bilang Ibu ya?"
Pemuda Na itu tidak menjawab, tetapi surainya diusap lembut kemudian. Terdengar pintu yang tertutup, Jaemin menoleh lalu membuka kopernya. Senyumnya terukir melihat buku gambarnya ada di sana dan pensil warna yang diberikan oleh Paman Baik untuknya.
Diambilnya dua benda tersebut, Jaemin turun dari ranjang untuk berpindah ke bawah. Bantal yang berada di ujung telah diambil olehnya kemudian menyandarkan Buntaengi di sana. Mewarnai selalu membuat perasaannya lebih baik, ia bisa melihat berbagai macam warna yang menghias kehidupan di bukunya.
"Buntaengi, kita sendirian di sini. Tidak apa-apa ya?" lirihnya seraya menatap boneka kecil tersebut, jemari Jaemin bermain di bulu-bulu lembut berwarna merah muda, "Kasihan Mark Hyung dan Mama, nanti uang mereka habis untuk Nana. Kata Ibu, kalau kita masih sehat dan bisa bekerja tidak usah meminta orang lain. Besok kita bekerja berarti?" gumamnya.
Tangannya sibuk mewarnai, bergantian mengambil dari wadah tersebut.
"Halo?"
Gerakannya berhenti secara mendadak, suara tersebut berasal dari belakang Jaemin. Namun, anak itu tidak menoleh lalu terdengar suara benda seperti berjalan. Perlahan, pemuda Na menoleh dan menemukan sosok anak laki-laki yang sedang duduk di suatu benda.
Senyumnya menyambut ramah di samping Jaemin, tetapi lagi-lagi anak itu menyingkir sembari meraih Buntaengi kemudian memeluknya.
"Ah, kupikir kau belum datang. Jadi aku tinggal tidur saja," ucapnya dengan senyuman kemudian tangan laki-laki itu terulur, "Namaku Jeno."
"Ketika ada seseorang yang ingin berkenalan dengan Nana, diterima ya, Sayang? Mereka pasti menyukai Nana. Putra Ibu itu baik dan ramah."
Maniknya menatap uluran tangan tersebut, perlahan ia mengikuti untuk membalas. Kening Jaemin berkerut melihat senyum pemuda di depannya kemudian ia meletakkan Buntaengi di samping wajah Jeno.
"Mata Jeno dan Buntaengi sama ya, kecil."
Pemuda bermata sipit itu tertawa, kedua tangannya berada di pipi kemudian berkata, "Lucu, kan?"
"Huum!"
Setelahnya, Jeno menarik perhatian pemuda Na itu dengan percakapan mengenai gambar. Akhirnya, mereka menghabiskan waktu bersama untuk menyelesaikan buku mewarnai Jaemin. Sering kali, pemuda yang memakai kursi roda itu memberikan warna-warna baru di sana membuat decakan kagum dari yang lebih muda.
Nyaman adalah yang dirasakan Jaemin saat ini, Jeno mampu mengimbangi tingkahnya di sana. Selalu membuat sesuatu yang menarik perhatian pemuda Na tersebut.
Terdengar bunyi lonceng dari luar kamar membuat Jaemin terperanjat dari posisinya.
"Itu alarm untuk makan siang, ayo turun."
Keduanya bergegas untuk merapikan buku-buku di atas ranjang serta wadah pensil warnanya. Jaemin berdiri sembari memeluk Buntaengi, kedua alisnya bertaut melihat Jeno menggerakkan kursi rodanya.
"Jeno tidak jalan?"
Pemuda itu mendongak seraya menyunggingkan senyum kecil, "Ini caraku berjalan, Jaemin."
"Nana dorong, boleh?"
"Nana?"
Bibir bagian bawah Jaemin digigitnya, sudah terbiasa untuk menyebut nama itu dan sekarang di depan orang yang baru dikenalnya.
"Nana? Na Jaemin, Na?" gumam Jeno yang mana diangguki oleh pemuda manis di sana.
Senyum Jeno terukir, ia menganggukkan kepala menyetujui permintaan Jaemin.
"Tapi, Jeno pegang Buntaengi ya. Jangan sampai jatuh!"
Boneka itu disodorkannya, Jeno sedikit kebingungan meletakkannya di mana supaya tidak terjatuh sehingga memilih untuk memeluk benda kecil itu di dadanya, "Seperti ini?" tanyanya pada Jaemin.
Bibir Jaemin menampilkan senyum yang lebar dan menganggukkan kepala. Betapa senangnya ia dan Buntaengi memiliki teman baru.
—
Chapter kalem dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only The Brave✓
FanfictionSeberapa keras kau berusaha, kehidupan akan selalu tidak adil bagi sebagian orang. °° Hidup itu bukan berat, ketika kau memiliki kekuatan dan keberanian untuk menjalaninya.