[duapuluh dua]

6K 1K 168
                                    

Sorry for typo(s)

Awal kepergian Jaemin dari panti asuhan membuat suasana mendung di bangunan yang menjadi tempat tinggal selama hampir dua bulan tersebut. Beberapa anak mengucapkan selamat untuk dirinya, tetapi sosok Jeno justru menampilkan wajah yang berbanding terbalik dari mereka. Raut wajah gugup serta khawatir tergambar di sana membuat anak itu mengerutkan kening.

"Jeno sedih ya?"

Kepala Jeno yang tertunduk saat itu mendongak untuk menatap sahabatnya, membuat bibirnya tersenyum masih sulit. Kenyataan ini terjadi begitu tiba-tiba.

"Kata Mama Iren nanti Nana ke sini lagi, bermain!" ujarnya.

Bibir Jaemin mengerucut, padahal ia melakukan ini sesuai nasehat dari Jeno serta Mark. Tangannya memegang sebuah kertas yang baru saja selesai ditulisnya tadi.

"Kau harus janji menghubungiku, ya? Kau sudah mencatat nomor telepon rumah ini, kan?" pinta Jeno dengan penekanannya.

Kepala Jaemin mengangguk seraya menunjukkan kertas kecil yang menunjukkan nomor rumah panti asuhan tersebut.


"Nana?"


Atensi keduanya beralih ketika mendengar suara lembut dari Irene, wajah cantiknya menyambut mereka sembari berjalan memasuki kamar kemudian duduk di samping putra adopsinya.

Lengannya melingkar pada bahu Jaemin, tak bisa dipungkiri oleh Jeno bahwa orang tua baru sahabatnya ini terlihat begitu baik. Namun, tetap saja ia tidak rela. Seharusnya, keluarga Choi yang menjemput.

"Sudah?"

Hari itu menjadi pertemuan terakhir dari Jaemin dan Jeno. Tidak ada kabar sama sekali membuat pemuda yang berada di kursi roda tersebut hanya menelan rasa kecewa, ia tidak bisa melakukan apapun termasuk pemuda Na.


Bukan tidak ada usaha yang dilakukan oleh Jaemin di sana, bahkan sesampainya di rumah baru anak itu meminta untuk dihubungkan dengan Jeno melalui telepon.

Namun, akan selalu berakhir dengan sebuah kata nanti yang keluar dari mulut Irene. Tidak ada perlakuan yang kasar untuk Jaemin memang, tetapi rasa takut masih ada di sana.

Mereka tetap orang asing bagi Jaemin dan menurut adalah jalan satu-satunya yang bisa dilakukan saat ini.




***


Tak berbeda dari panti asuhan, kediaman Choi juga dirundung rasa gelisah. Berbedanya, Yoona khawatir melihat putra sulungnya. Dari semenjak selesainya sidang, Jaehyun mengurung diri di kamar. Wanita tersebut tidak mengetahui penyebab sebenarnya.

Beberapa kali ia menghubungi sang suami yang masih berada di luar kota, Siwon mengatakan untuk jangan khawatir.


"Jaehyun, katakan pada Ibu. Ada apa, Nak?" lirih Yoona sembari mengetuk pelan pintu putranya.

Namun, lagi-lagi tak ada jawaban. Keningnya bersandar pada daun pintu dengan kesedihan. Perasaan Yoona juga tidak nyaman selama beberapa hari ini. Selalu terbangun di malam hari, memimpikan saat persalinan Jaemin dulu.

"Ibu..."


Tubuhnya berbalik dan menemukan putra bungsunya yang sudah pulang sekolah, Jisung mendekat sembari memeluk sisi tubuh Ibunya.

"Masih belum keluar juga, Jaehyun Hyung?"



Gelengan kepala Yoona membuat Jisung menghela napas, ia juga khawatir atas apa yang terjadi pada sang kakak. Semoga, apa yang ditakutkannya tidak berhubungan dengan keadaan Jaehyun kali ini.


Only The Brave✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang