[duapuluh tiga]

6.4K 1K 229
                                    

Sorry for typo(s)


Dilema yang dialami Jaemin seperti diibaratkan dia berada di tengah-tengah sebuah jembatan kecil, tak ada ruang berdiri selain untuknya. Kedua belah sisi menampilkan sosok-sosok yang disayangi termasuk keluarga Kim dengan cara segala keinginan saja selalu dipenuhi.




Namun, rasa nyaman yang selalu dirindukannya kini perlahan menjauh dari Jaemin. Terkadang, pada malam hari ia akan termenung dan duduk di dekat jendela kamarnya. Menuliskan nama Mark, Paman Baik, Jaehyun serta Jeno di kaca tersebut.





Akhir-akhir ini pula, Jaemin memimpikan seorang wanita. Wajahnya tidak terlalu jelas oleh netranya, tetapi ketika tersenyum, ia seperti melihat dirinya sendiri bahkan ada Paman Baik di sana.




Kepalanya bersandar pada jendela, menarik kedua lututnya untuk dipeluk dengan Buntaengi di sana. Perlahan memejamkan mata sejenak, membayangkan posisi dirinya masih menunggu Mark yang sedang membuatkan ramen untuknya saat Jaemin diminta untuk menginap di rumah keluarga Lee.




Suara knop pintu yang terbuka membuatnya membuka mata dengan cepat, ia menoleh dan mendapati Ayah angkatnya sedang berdiri.




"Loh, Nana belum tidur?"




Kepalanya menggeleng sembari menunduk. Jemarinya bermain di wajah Buntaengi. Masih di ambang pintu, Junmyeon mencoba untuk mengambil kesempatan untuk memulai mereka saling mengenal.




"Papa membuat ramen di bawah. Nana mau? Tadi makan malam sedikit, pasti masih lapar."




Dengan malu-malu, Jaemin melirik ke arah lelaki tersebut. Namun, masih tetap berdiri dan melangkah ragu mendekati Junmyeon. Keduanya berjalan menuju ke dapur, melihat air yang sudah mulai mendidih sang ayah berlari dan memasukkan mie tersebut.



Tidak berani mengeluarkan suara, Jaemin hanya duduk di kursi pantry menatap punggung lelaki tersebut. Netranya mengamati sang ayah yang mulai memasukkan potongan sayuran serta daging di sana.




"Seledri!" ujar Jaemin di sana membuat Junmyeon menoleh ke belakang.




Mata bulat lelaki itu menatap putra asuhnya, "Nana ingin memakai daun seledri?"



Senyum anak itu terukir seraya menganggukkan kepala.



Beberapa saat, pemuda Na menunggu ramen tersebut untuk matang. Bibir bawahnya digigit, hatinya ingin membuatkan minuman. Namun, kejadian terakhir kali tiba-tiba terbayang dalam ingatan.




Maniknya mengamati bagaimana Junmyeon harus bekerja dua kali lipat untuk membuat ramen serta minuman.




Setelah berdebat dengan diri sendiri, Jaemin beranjak dari posisinya dan meninggalkan Buntaengi di atas meja. Berjalan mendekati Junmyeon di sana dan berkata, "Nana bantu?" tanyanya lirih.




Terlihat jelas raut wajah Junmyeon terkejut di sana, maniknya mengerjap beberapa kali sampai akhirnya ia menganggukkan kepala. Sesekali, lelaki itu melirik ke arah Jaemin yang membuatkan minuman di sana.




Bibirnya menyunggingkan senyum, merasa ada kemajuan di antara mereka.




Harumnya ramen sudah tercium oleh hidung Jaemin, perut yang tadinya tenang kini seakan berteriak ingin segera diisi. Duduk saling berhadapan, mereka memulai makan bersama.




Kebiasaan Jaemin yang memasukkan daun seledri adalah pemandangan yang baru bagi Junmyeon. Bibirnya tiba-tiba mengukir senyum melihat lahapnya anak itu menikmati ramen buatannya. Tangannya terulur mengambil selembar tisu di sana dan membersihkan sisa kuah pada pipi pemuda Na.




Only The Brave✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang