[tujuhbelas]

6.2K 1K 93
                                    

Sorry for typo(s)






Setiap memejamkan mata, Jaemin akan selalu membayangkan wajah sang Ibu. Senyum yang akan selalu dilihatnya sebelum masuk ke dalam mimpi, usapan jemari pada surainya seperti sebuah lullaby.




Rindu mulai menyelimuti, teringat perkataan sang Nenek tadi. Melihat raut wajah Jaemin yang tampak muram, Jeno bertanya kemudian.




"Mereka memang jahat, tapi jangan sampai kita membalasnya melalui orang lain yang tulus menginginkan kita."




"Nana tidak mengerti."




Senyum Jeno terpatri di sana, berhadapan dengan Jaemin yang duduk di atas ranjang, "Di hatiku yang paling dalam, aku menginginkan sebuah keluarga. Jika suatu saat nanti ada yang mengambilku, aku akan bahagia. Bukan menolak karena sebuah label orang tua yang membuang kita. Mungkin saja mereka keluarga baik?"




Kening Jaemin berkerut bersamaan dengan bibirnya, ia menunduk karena tidak menyukai jawaban Jeno.



"Nanti Nana sendiri, Jeno sendiri. Tidak bertemu, tidak berteman," gumamnya sedih.




Jeno tertawa kecil, "Kita akan selalu berteman, Nana," jemarinya terulur menarik ujung bibir pemuda Na tersebut, "Ayo tersenyum. Aku sudah berjanji pada Mark Hyung dan Jaehyun Hyung akan menjagamu di sini. Tidak membuatmu sedih."




Bukan hanya perkataan Jeno yang membuatnya berpikir lebih luas lagi, Jaemin juga mengingat ucapan sang Ibu. Saat itu, mereka berada di kamar menemani dirinya sedang mewarnai gambarnya.




"Nana, Ibu ingin bertanya," lengan wanita itu melingkar pada bahu sang anak, menyandarkan kedua kepala sembari menatap gambaran hasil karya Jaemin, "Siapa yang menggambar ini?"



"Nana!"



"Yang memberi warnanya?"




"Nana!"




Senyum Sunyoung terpatri, jemarinya mengusap pipi sang putra kemudian keduanya saling menatap, "Sekarang, dengarkan Ibu," mulainya lembut, "Seperti yang Nana bilang tadi bahwa gambaran ini hasil karya dari Nana, yang memberi warna juga Nana. Jadi, jika ada yang mengatakan bahwa gambar ini jelek dan warnanya tidak cocok, jangan dengarkan mereka, ya?"




Dahi Jaemin berkerut tidak paham, "Kenapa?" sahutnya polos.




Sunyoung mengambil tangan putranya dan meletakkannya di atas buku gambar tersebut, "Gambar ini adalah milik Nana, kehidupan yang Nana jalani. Jika ada yang membuat Nana sedih, jangan didengarkan. Hapus mereka dengan warna yang Nana suka. Pahamkan, Sayang?"



"Warna yang Nana suka? Pinkeu?" serunya sembari mengambil pensil warna tersebut.




Wajah Jaemin diusap lembut oleh jemari sang ibu, saling menyunggingkan senyum yang lebar.




"Kata yang paling jujur adalah hati Nana sendiri. Nana harus berani melawan mereka yang buruk bagi Nana. Oke?"




"Oke!" lengan pemuda Na itu melingkar pada perut sang Ibu dan bersorak kecil, "Sayang Ibu!"




Malam itu, mimpi indah mendominasi tidur Jaemin apalagi ketika Paman Baik muncul di sana.




***




Only The Brave✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang