Sorry for typo(s)
Kesempatan kedua dalam hidup tak hanya untuk memenuhi sebuah harapan yang belum tercapai, tetapi juga sebagai bentuk bahwa mereka yang memilikinya menjadi orang paling beruntung di dunia. Semua orang juga pasti pernah melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, bukan berarti karena bodoh tetapi membuktikan mereka hanya seorang manusia.
Rasa bersalah juga tidak selalu ditanggung selamanya oleh seseorang, mereka bangkit karena yakin masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Semua hanya tentang waktu.
Choi Jaehyun belajar banyak hal atas kehilangan adiknya terdahulu. Meskipun terhubung dengan darah yang sama, seorang keluarga juga bisa melakukan kejahatan untuk sesama. Namun, bukan berarti kebencian akan selalu tertanam dalam hatinya. Pertemuan dengan Jaemin membuat hati dan pikirannya terbuka.
Jangan terpaku untuk membenci seseorang, rasa itu takkan mengubah takdir kehidupan kita. Jika dibiarkan tumbuh, tidak akan baik bagi hati dan tubuh. Benci akan mendominasi pada rasa-rasa lainnya. Kehidupan yang lebih indah sedang menunggu daripada memelihara perasaan dengki terhadap seseorang.
Waktu telah berlalu dan mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Meskipun masih belum percaya, Jaehyun melihat sosok Jaemin tertidur di paha sang Nenek ketika mengunjungi mereka pada sore itu.
"Apa lihat-lihat? Makan sana, masih ada makanan tadi."
Kening Jaehyun berkerut, gurat wajah galak sang Nenek memang masih ada dan mungkin tidak akan pernah hilang. Namun, sikap lembutnya yang ditujukan pada Jaemin membuat si sulung menyunggingkan senyum kecil. Jemari keriput itu mengusap lembut surai sang adik untuk membuatnya semakin terlelap.
"Sudah dua hari Nenek membawa Jaemin."
"Oh, ya sudah. Nanti bawa saja dia pulang."
Sebelum menjawab, Jaehyun beralih untuk duduk di samping beliau. Lesung pipinya terlihat sembari menatap sang Nenek yang terlalu dekat membuat wanita tua itu mengerutkan kening.
"Kenapa?"
"Ayo, pulang Nek. Kamar Nenek sudah kusiapkan dengan Jisung kemarin. Kita berkumpul, lusa aku wisuda."
Sang Nenek melirik tajam ke arah cucu sulungnya, tanpa menyunggingkan senyum kecilpun, "Biasanya juga kalian tidak mengajakku."
Pernyataan tersebut membuat Jaehyun menghela napas, semakin merapatkan posisi duduknya untuk mendekat kepada Nenek. Tangannya bergerak menyentuh lengan beliau.
"Kita sama-sama melakukan kesalahan, tetapi juga kita berusaha untuk memperbaikinya. Tidak ada salahnya kan, Nek? Setelah semuanya yang terjadi, kita tetap keluarga," si sulung Choi menyandarkan kepalanya pada bahu yang bersandar pada sofa di balkon rumah, jemari Jaehyun juga ikut menyentuh surai adiknya di sana, "Kesalahan masa lalu bukan menjadi penghalang untuk membentuk kebahagiaan di masa depan, Nek."
Jemari wanita tua itu terangkat beralih mengusap lengan Jaehyun yang memeluknya. Mereka berada di posisi seperti itu untuk beberapa saat.
Belajar memaafkan itu memang sulit, tetapi lebih sulit lagi jika tidak bisa memaafkan sama sekali dan mengenang perbuatan yang tidak berguna untuk kebahagiaan nantinya.
***
Perasaan gugup melanda pada hati pemuda manis sedang berdiri di lorong kampus yang ramai. Tubuhnya benar-benar menempel pada dinding dengan jemari yang bertaut di atas perutnya, manik Jaemin mengamati sang Ibu yang sedang mengobrol dengan salah satu dosen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only The Brave✓
FanfictionSeberapa keras kau berusaha, kehidupan akan selalu tidak adil bagi sebagian orang. °° Hidup itu bukan berat, ketika kau memiliki kekuatan dan keberanian untuk menjalaninya.