Sorry for typo(s)
Pada kasus seperti Jaemin, menangani sifatnya itu memperlakukannya seperti anak kecil. Harus tahu apa yang membuatnya tertarik kemudian bergabung bersama dengannya untuk melakukan bersama. Layaknya yang Jeno lakukan, memang tidak banyak yang mendekati pemuda Na tersebut. Bukan karena mereka tidak menyukai, melainkan takut.
Moodswing yang dialami oleh kelainan seperti Jaemin memang harus dilakukan hati-hati. Namun, tidak masalah bagi pemuda Na tersebut. Kehadiran Jeno sudah lebih dari cukup.
"Aku sudah menggambar Buntaengi, sekarang kau yang mewarnainya," ujar Jeno seraya menyodorkan hasil gambarnya.
Maniknya membola, seraya bibirnya yang berdecak kagum. Dilihatnya sejenak hasil karya teman barunya itu kemudian menggelengkan kepala.
"Nanti jelek!"
"Tidak, aku akan membantumu supaya tidak keluar dari garis gambarnya."
"Oke!"
Setelah melakukan tugas membersihkan kamar, keduanya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama. Jeno tidak keberatan untuk menemani pemuda Na tersebut karena masih merasa malu untuk bergabung bersama teman-teman yang lain.
Apalagi menemukan teman dengan sepantaran, walaupun Jeno lebih bertindak seperti seorang kakak yang mengajari sesuatu baru bagi adiknya.
"Jeno sudah lama di sini?"
Pertanyaan tersebut terlontar tiba-tiba, Jaemin meletakkan kepalanya di atas buku gambar membuat Jeno menyunggingkan senyum kecil. Tangannya bergerak untuk menyingkirkan pensil warna di sana.
"Sejak aku bayi, sudah ada di sini."
Bola mata Jaemin membulat, "Lama!" serunya tak percaya kemudian ia mengganti posisi kepala itu bertopang pada tangan, "Apa itu panti asuhan? A-ayah panti ti-tidak ada?"
Topik tentang orang tua masih sensitif bagi Jaemin, tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar. Mengapa harus tinggal di sini? Lebih baik di rumah, sendiri tidak apa-apa.
Untuk mencairkan suasana, Jeno tertawa kecil atas pertanyaan polos tersebut. Di atas kursi roda seraya membenarkan posisi kacamata, ia menghela napas.
"Panti asuhan itu rumah bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua, biasanya seorang wanita yang mengelola. Kami memanggilnya Eomma, karena beliau lah yang merawat, membesarkan dan mendidik," jelas Jeno kembali menoleh pada pemuda Na yang memasang wajah sendu.
"Jeno dibuang ya?"
Sorot mata pemuda bermata sipit itu terpaku, hatinya berdenyut kala mendengar kalimat tersebut.
"Nana juga," lirihnya sembari menundukkan kepala, "Nana cacat. Orang tua tidak suka Nana. Ibu ambil Nana."
"Kau bahagia?"
Keduanya saling menatap, Jaemin mengerutkan kening atas pertanyaan tersebut. Sejenak pikirannya melayang pada memori masa lalu. Bagaimana Ibu selalu membuatnya tersenyum, Mark yang menghibur dan selalu membelikan sesuatu serta Mama yang begitu baik hati. Bibirnya menyunggingkan senyum seraya menganggukkan kepala.
"Bagus, itu balasan untuk mereka yang telah membuang kita."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Only The Brave✓
FanfictionSeberapa keras kau berusaha, kehidupan akan selalu tidak adil bagi sebagian orang. °° Hidup itu bukan berat, ketika kau memiliki kekuatan dan keberanian untuk menjalaninya.