Permusuhan dimulai.

36.5K 2K 79
                                    

Langit terlihat murung, cuaca seolah mendukung dengan keadaan yang sangat menegangkan ini. Ya Indira bersama rekan tim nya harus mengurus pasien korban kecelakaan di kaki bukit tadi pagi.

"Sepertinya kita butuh banyak darah." ucap Dara.

Giat kali ini di pimpin oleh Dara, entah kenapa dirinya suka yang menantang adrenalin seperti ini. Bisa sajakan berikan tanggungjawab ini kepada senior-seniornya. TAPI TIDAK!! ini bukan tentang siapa yang lebih dulu menjadi Dokter tapi ini tentang sumpahnya, sumpah  pejuang kemanusiaan.

"Baik, saya akan pergi mengambil persediaan darah di bank darah." ucap Indira lalu pergi.

Indira melepas sarung tangan medisnya dan mencari persediaan darah yang ada di sana. "hah? apa apaan ini? hanya ada 5 kantung. Pasien itu butuh 8 kantung." ujar Indira.

Tak banyak pikir Indira segera pergi mencari kapten Arza. Memintanya agar seluruh anggota prajurit berkumpul dan mau mendonorkan darahnya.

"Di mana kapten Arza?" tanya Indira.

"Saya disini!" Ucapnya.

Indira membalikkan badannya di lihatnya kapten Arza sedang berjalan dengan kedua tangan yang di masuk kan ke dalam saku celana lorengnya. "Kami kehabisan kantung darah di bank darah, pasien kritis membutuhkan 3 lagi kantung darah golongan O." tutur Indira.

Arza menggigit ibu jarinya, nampak berpikir keras. "Ambil saja darahku,  golongan darahnya sama."

"Ta-tapi, 3 kantung itu banyak. Nanti malah kau yang kritis, menyusahkan saja." Matanya di rotasikan 180°.

"Terus bagaimana?"

"Ya-" potong Indira.

"Saya juga akan mendonorkan darah untuk pasien itu." ucap Letnan Ghifanka tiba-tiba datang.

"Allhamdullilah selesai." ucap Dara mengakhiri kegiatan menjahit kulit perut bagian luar pasien korban kecelakaan tadi.

Akhirnya semuanya dapat bernafas lega sekarang, "Terimakasih telah membantu kami berjuang." ucap Dara lalu pergi keluar ruangan.

"Piyuh... cape bengett!" kata Indira.

"Lo lama, padahal pasien tadi sudah hampir sekaratt." jelas Dara sambil membuka masker bekas operasinya.

"Jantung gue berdebar kenceng banget dari tadi. Lo kan tau ngambil darah orang tuh butuh ketelitian kan? Gimana kalo salah tusuk hah?" ujar Indira membela dirinya.

"Ja-jadi tadi lo ngambil darah orang, dulu?" tanya Dara.

"Si Indira emang ye, kondisi darurat masih sempet sempetnya open donor darah."

"Ye! bukan gitu. Di bank darah tadi persedian darah hanya 5. Kita kan butuh 8 kantung."

Dara terkejut. "Maaf," lirih Dara. "Lo hebat, terimakasih telah berjuang bersama."

Mereka bertiga berpelukan bersama, seperti teletubis di taman matahari. "Ajakin gue mukbang ramen ya?" bisik Indira, membuat kedua temannya melepas pelukan mereka.

*

"Ada apa?" tanya Indira kesal. Baru saja duduk di tepi kasur sudah ada yang memanggilnya. Emang orang sibuk. Masih menggunakan baju biru operasinya pula.

Mengapa baju operasi berwarna biru? Karena warna biru membantu agar mata tidak terlalu pegal sehabis melihat darah.

"Em saya, saya ingin berterimakasih kepada dirimu."

"Untuk?" tanya Indira.

Started In Libanon [End]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang