Kita, selesai.

16.3K 1.2K 13
                                    

***

"Dorrr." Ucap Launa memasuki ruangan.

"Astagfirullah... terkejott."

"Assalamualaikum, bukan Dor. Kebanyakan denger bunyi senapan yeu lo?"

"Yeu... gue udah terbebas dari KoRaMil. Dasar markonah."

"Males gue, pergi sono."

"Gini nih kalo tulang belakang di ganti sama pipa air rucika, Baper nya mengalir sampaii jauhhhh..." ucap Launa.

"Muka lo kecut amat." Ucap Indira tiba tiba datang.

"Indira bangke lo kaget gue ah."

"Lebay." ucap Indira sambil menyimpan tas nya.

"Dah lah males ngomong sama lo serba salah gue dimata kalian." Ucap Launa frustasi.

"Ya udah nanti lo pindah ke hidung gue ajah simple." Ucap Indira meleraikan pertengkaran yang sering terjadi.

"Yeee... maemunah! ya kali gue di hidung lo."

"Berisik!" ucap Dara sarkas.

"Temen lo." ucap Indira dan pergi.

"Lo juga markonah." Ucap Launa lalu meninggalkan Dara.

"Gue ditinggal, dasar jomblo." Ucap dara pada diri sendiri.

Indira melaksanakan visit pagi ini bersama Launa. Kedua Dokter muda itu begitu cantik dan mempesona, dengan jilbab yang mereka kenakan menambah kesan manis yang memang sudah ada dalam diri mereka.

"Pagi, Dokter Indira." Ucap Zyvany salah satu perawat di rumah sakit.

"Pagi. Oh iyah, bagaimana keadaan ica sekarang?" Tanya Indira.

"Em... belum saya periksa Dok, soalnya baru saja saya keluar dari ruang melati."

"Oh begitu ya, terimakasih."

"Sama-sama Dok," ucap Indira lalu pergi bersama Launa.

"Kasian deh gue sama si Zyvany itu, seharusnya dia tuh udah lulus jadi Dokter, cuma ya benalu yang dalam kelompoknha itu yang bikin dia gak lulus lulus."

"Dia sama dong kaya kita. Kalo kita gak ancam Dayang dayangnya si Madona itu kita bakal jadi koas sampai tua."

Pikiran Launa melayang pada kejadian waktu itu, kejadian di mana mereka bertiga melabrak Dina dan Fina di kantin.

Brak...

Dara menggebrak meja makan di kantin. Lalu menarik Fina dan Dina menggunakan kedua tangannya. Dara membawa mereka berdua ke balik bagungan besar, di sana sudah ada Indira dan Launa yang meyender di dinding sambil memainkan kuku kuku tangannya.

"Ekhem," Indira berdehem lalu berdiri di hadapan Fina dan Dina.

"Hai, teman." Sapa Indira pada Dina.

"Sejak kapan kita berteman?" Tanya Dina.

"Sejak pengumuman kelompok koas!" Sahut Dara.

"Gue gak mau ada benalu di kelompok gue! Jadi kalian harus baik baik sama kita."

"Kalo lo mau lulus, gue tunggu besok di apartemen Dara. Dan kalo lo gak mau lulus, seenggaknya jangan ajak ajak kita!"

"Lo ngerti?" Damprat Launa.

Lalu mereka bertiga pergi dengan mengibaskan jilbab nya. Lucu bukan?

Indira dan Launa tertawa mengingatnya, mereka sudah seperti senior yang melabrak juniornya.

Launa pergi ke ruangan Apel. Dan Indira pergi ke ruangan Flamboyan untuk memeriksa keadaan ica. Namun, langkah nya terhenti saat mendengar teriakan seseorang.

"Kak Indira!"

Indira membalikan badan."Hei,Anggia. Kenapa kamu lari lari?"

Anggia mengstabilkan pernafasannya."Kak-kakak mau kemana?"

"Aku mau ke ruang flamboyan meriksa pasien."

"Oh gitu ya kak, oke deh."

"Gitu doang?"

Anggia terkekeh geli."Aku pergi dulu, sampai jumpa." Ucapnya lalu pergi mendahului Indira.

Indira menggeleng-gelengkan kepala lalu masuk ke dalam ruangan itu. Nampak jelas seorang anak perempuan sedang terbaring lemas dengan menggunakan beberapa alat bantu di tubuhnya.

Anak perempuan yang baru mengalami kecelakaan satu minggu yang lalu.

Waktunya makan siang! Indira segera pergi ke pentri. Disana ia melihat Anggia sedang duduk sendiri.

"Hay anggia? boleh aku duduk disini?" ucap Indira.

"Kak Indira, boleh dong! Sini!" Sahut Anggia menepuk kursi di sebelahnya.

Indira tersenyum,"sebenarnya ada yang pengen aku omongin sama kamu."

"Tentang bang Arza?" Tanya Anggia.

Indira terkejut, bukan itu yang ini ia bicarakan. Hah! Apa bang? Sebutan untuk kaka laki laki? Atau...

"Bang Arza itu abangku, gak usah kaget gitulah." Kekeh Indir menepuk bahu Indira.

"Oh... hehe."

Ya Allah, Indira berusaha menenangkan dirinya. Jadi Anggia dan Arza adalah saudara, adik dan kakak? Ah kenapa dunia mendadak jadi sesempit ini?

"Em... sebelumnya Arza gak pernah cerita apapun tentang keluarganya. Termasuk dia punya adik perempuan, aku- aku kaget loh. Hehe... ternyata kamu adiknya." Ujar Indira canggung.

"Abang emang gitu orangnya, tertutup. Gak mudah nyeritain semuanya sama sembarang orang."

"Oh begitu ya." Ucap Indira.

"Oh ya, kamu mau makan apa? Sebentar aku pesankan."

15 menit berlalu, kini perut Indira sudah terisi dan tubuhnya sudah mulai menerima energi kembali.

"Ah... allhamdullilah kenyang." Ucap Indira mengelap ujung bibirnya dengan tisu.

"Anggia?"

"Em?"

"Kamu bener kan adik kandung nya Arza?" Tanya Indira.

Anggia terkekeh geli, mengeluarkan ponselnya dan menunjukan poto Arza dengan dirinya. Poto yang mereka ambil sebelum Arza menjadi tentara. Menurut Indira Arza banyak berubah setelah menjadi Tentara. Kenapa laki-laki setelah berseragam tambah tampan dan gagah gitu loh?

Di poto itu Arza mengenakan baju hitam dengan celana selutut serta sendal jepit. Berpose ala ala tentara yang memegang senapan dan akan menembak, lalu disampingnya Anggia berpose ala ala perempuan yang sudah meluncurkan peluru dan meniup asap pistolnya.

Indira mengulum senyum,"poto yang sangat bagus, boleh aku menyimpannya?" Tanya Indira.

Anggia mengangguk semangat."boleh dong kak."

Indira mengambil poto itu, mengeluarkan kotak persegi berwarna hitam dan menyodorkan nya pada Indira.

"Tolong berikan ini pada abangmu."

Anggia menatap kotak hitam yang ada di hadapannya.

"Aku pergi dulu, sampai jumpa kembali." ucap Indira.

Anggia membuka kotak hitam itu, dan menemukan brivet raider. Bahu Anggia merosot.

"Aish... cara yang kuno."

Anggia paham betul dengan cara itu. Para loreng itu benar benar kaku, tak bisa kah mereka bersikap sedikit romantis? Ah tapi tidak cocok mengungkapkan perasaan dengan otot otot wajah yang kaku.

"Bang, Anggia sudah bilang. Jangan pakai cara ini! Masih aja ngeyel. Di tolak juga kan!" Gumam Anggia. Memasuka kotak hitam itu kedalam saku jaketnya.

"Maafkan aku Arza."

***

Started In Libanon [End]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang