1

49.6K 2.4K 67
                                    


Sunyi. Itulah yang Regan rasakan saat ini. Laki laki yang kini menginjak umur delapan belas tahun itu masih duduk termenung di samping ranjangnya dengan tangan kanan memegang cuter. Tak terhitung sudah berapa banyak sayatan yang ia torehkan pada lengannya. Yang ia inginkan hanyalah pelampiasan untuk rasa sakitnya. Dan mengoreskan benda tajam ke bagian tubuhnya merupakan cara paling ampuh merendam semua rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

Regan masih diam dengan tatapan kosong, ingatannya kembali memutar kejadian beberapa jam yang lalu, saat Lavisya mamanya dengan sengaja membawa pria lain ke rumah mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis wanita sialan itu.

Terlalu biasa bagi Regan, bahkan ia menganggap wanita itu terlalu murah hanya untuk dipandang. Saat kecil, Regan sering melihat wanita itu bergonta ganti pasangan. Jika kebanyakan wanita diluar sana menggauli pria demi uang, Lavisya berbeda. Dia melakukan itu hanya demi kesenangannya semata. Lavisya bukanlah wanita murahan yang mudah tergoda dengan uang. Ia bahkan terlahir dari seorang ayah pemilik perusahaan textile terbesar di kota ini.

" Regan..." Terdengar Suara halus dari balik pintu kamar Regan, tapi tidak membuat si pemilik nama beranjak dari tempatnya.

Suara teduh itu tidak asing ia dengar selama dua bulan terakhir. Perlahan pintu kamar terbuka, menampilkan seorang gadis berpakaian putih abu - abu. Dia Reina, adik kelas Regan yang kini duduk di bangku kelas 11.

"Regan ayo sekolah!" Reina berjalan mendekat kemudian mengambil cuter dari tangan Regan perlahan. Reina turun ke lantai bawah lalu Mengambil kotak P3K dan mulai mengobati luka cowok yang ia kenal dua bulan terakhir ini.

Regan masih diam sambil mengamati gurat wajah Reina, mata sayu itu, bibir tipis dengan kedua pipi berlemak membuat Regan tertegun beberapa saat. Pertemuan mereka yang singkat dan tidak masuk akal mampu membuat Regan bersyukur. Setidaknya masih ada satu orang yang peduli akan kehidupannya.

Reina melilitkan perban ke lengan kekar itu perlahan. Jika diingat... semenjak pertemuan mereka, ini adalah ketiga kalinya Reina mendapati Regan bertindak bodoh hanya demi mengalihkan rasa sakit yang ia pendam.

"Regan nakal ya" Reina mencubit pelan pipi Regan layaknya seorang ibu menatap anaknya yang nakal.

"Lo gak sekolah ?" Suara bariton Regan terdengar serak dan basah, jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi tapi cewek itu dengan santainya datang ke rumah Regan.

Reina terkekeh pelan "Tadi udah berangkat, tapi kata Geraldin ...kamu belum dateng, jadi aku ke sini "

Regan hanya membulatkan bibirnya, tangan kirinya sudah diperban dan menyisakan beberapa tanda sayatan yang belum hilang.

" Regan...ayo sekolah " Reina menatap manik kelam laki - laki di depannya tajam. Semenjak pertemuan mereka, dia sudah berjanji untuk mengeluarkan Regan dari dunianya yang gelap.

Regan diam tidak menanggapi, dia lebih senang melamun dan memikirkan beberapa hal yang membuatnya tertekan, dan saat kendali yang ia pertahankan sudah mencapai batasnya, ia akan melampiasakan rasa sakit itu dengan cara melukai dirinya. Regan sudah melakukan ini sejak lama, bahkan saat usianya menginjak 14 tahun ia pernah berfikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Bagi Regan, hidupnya hanyalah sebuah omong kosong yang tidak pernah ia inginkan. Jika boleh memilih ia tidak ingin terlahir di dunia ini.

"Regan ayo sekolah"

Regan hanya melirik Reina sekilas kemudian membuang muka. Reina berdecak kesal lalu membuka kemeja yang dikenakan Regan kasar.

Perlahan , jari -jari mungil itu melepaskan ikatan kancing pada pakaian yang Regan kenakan.

Hembusan nafas cowok itu terasa jelas mengenai wajah Reina. Regan menatap cewek didepannya datar.

"Lo kenapa peduli banget sama hidup gue"

Reina tidak menjawab. Dia berdecak kecil lalu mengalihkan pembicaraan

"Kalo kamu gak mau ganti baju, biar aku yang pakein kamu baju" Reina berjalan ke arah lemari, mengambil seragam dan baju dalam cowok itu. Regan terlihat biasa saja meskipun Reina jelas - jelas mengambil celana dalamnya dari lemari.

Reina mengancingkan seragam ke tubuh Regan sambil menggerutu. Yang benar saja, bahkan cowok itu tidak bergeming meskipun Reina masih melakukan hal senekat ini.

" Regan kamu tau kan,aku tipe orang yang nekat !! "

Regan menaikkan alis penasaran.

" Oh oke...aku anggep diem kamu itu sebagai jawaban iya kalo aku boleh buka celana kamu "

Regan membuang muka lalu mendorong tubuh Reina perlahan

"Keluar.... biar gue ganti baju sendiri"

Reina terbahak dengan kedua tangan ia lipat ke dada "Kenapa kamu ngusir ?"

" OH, gue si gak masalah kalo lo mau liat badan gue telanjang " Benar saja, Regan justru membuka celananya tepat di depan Reina.

"REGANNNN"

Reina menjerit histeris sembari menutup wajahnya menggunakan ke dua telapak tangan. Dia bisa saja menuntut Regan ke pengadilan atas dasar penindasan anak di bawah umur.

Meskipun tidak ada penindasan, tapi kelakuan Regan ini Sunguh membuat hati Reina beristighfar seratus kali.

" Regan aku belum genap 17 belas tahun lho "

Reina merapat kan matanya dalam. Tidak ingin melihat hal yang belum pernah ia lihat.

Tapi Reina penasaran.

Buka.Tidak.Buka

Ya ampun! sepertinya Reina sudah hilang akal. Reina tersentak ke belakang beberapa senti saat tangannya merasakan sentuhan dari Regan.

"Lo ga usah lebay....gue "

Reina menggeleng "Maaf"

"Lo ngapain minta maaf"

"Ayo Regan, aku mau sekolah"

"Tapi gue gak mau"

"Kamu harus mau"

Regan melepaskan genggaman tangan pada cewek itu. Dia menghela nafas pelan kemudian duduk di atas kasur abu - abu miliknya.

"Gue capek"

Reina mendekat, mengelus surai Regan lembut
"Kerjaan kamu cuma nafas, ngapain capek"

"Cepek Rein" Regan menarik cewek itu untuk duduk dipangkuan nya. Kedua mata itu saling terpaku beberapa saat sebelum akhirnya Reina memutuskan menjauh dan berjalan keluar kamar.

"Cepet Regan! Aku mau sekolah"

"Gue udah bilang gue gak mau"

"Kamu!"Reina menunjuk Regan dengan telunjuknya "Kalo kamu gak berangkat hari ini,aku gak bakal ke sini lagi"

"Oh"

"Oh apa?"

"Katanya lo mau pergi, yaudah sana pergi"

Reina memutar bola mata malas, melangkahkan kaki lalu duduk di samping Regan "Yang Mulia Regan Maherza Putra"

"Iya selir...ashhhh" Regan meringis saat Reina dengan sengaja menekan luka sayatan pada lengannya "Sakit anjir"

"Aku gak mau jadi selir"

"Maaf"

"Okey" Reina tersenyum lebar sembari mengelus pipi Regan singkat "Mau kan ke sekolah sekarang?"

"Males"

"REGAN"

"Iya"




Kalo ada yang like aku lanjut 😂😂

ANOTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang