01. Harapan Baru

909 43 0
                                    

Selamat ulang tahun,
Kami ucapkan

Selamat panjang umur!
Kita 'kan doakan

Selamat sejahtera,
sehat sentosa!!

Selamat panjang umur dan bahagia!

Hari itu adalah hari dimana usiaku genap 18 tahun. Namaku Brahmana Putra, aku memiliki seorang Ibu bernama Kirana Wijayanti. Ayahku—Sunandar Mahendra—meninggal saat umurku 13 tahun. Peristiwa kecelakaan yang menimpa kami di tahun 2009 lalu menyisakan trauma bagiku.

Aku tidak punya pilihan selain mengikhlaskan kepergiannya yang mendadak, walau hati kecilku bilang kalau Ayah masih hidup. Entah, aku tidak mengerti kenapa aku begitu yakin kalau dia masih ada.

Disetiap ulang tahunku, tidak pernah lupa kuselipkan nama Ayah. Aku masih ingin merasakan kasih sayangnya, berlari dan bermain-main bersamanya seperti dulu. Walau sekarang badanku terbilang besar melebihi Ayah, tetapi permintaanku setiap tahun selalu sama. Mungkin aku sedikit kekanak-kanakan, tapi begitulah kenyataannya. Aku hanya mau Ayah kembali. Itu saja.

"Bram, ini action figure yang kamu pengen dari dulu. Ambil nih, hadiah dari Mama." Ibu memberikan action figur bertema Marvel tersebut padaku. Dari semua superhero Marvel, aku memfavoritkan Captain America.

"Ya ampun, kayak anak kecil aja, Kak Bram. Masih doyan ngoleksi mainan begitu, ya?" celetuk Syafira---Adik kandungku.

"Heh, ini action figure, ya. Bukan mainan!"

"Terserah Kakak, deh." kata Syafira sambil melipatkan tangan, ia heran melihat tingkah laku-ku seperti anak kecil memperlakukan action figure ini.

"Oh, ya, tadi waktu mau niup lilin, doanya apa, Bram? Mama penasaran."

"Eummm ... kalo soal itu kayaknya privasi deh, Ma. Nanti kalau dikasih tahu, nggak akan terkabul dong," jawabku.

"Eh, iya juga, ya."

"Jangan sedih terus ya, Kak Bram. Bahagia dong!"

"Iya, Bram, lo nggak capek murung terus? Gue aja capek liatnya. Jelek banget," ucap Damar dengan tatapan mengejek.

"Heh, jangan body streaming lo, ya!" ucapku tak mau kalah hingga tak sadar lidahku keseleo

"Body shaming, Bram!" Damar---sahabatku menoyor kepalaku keras, dan aku pun balas menoyor. Suara tawa Ibu terdengar paling keras di antara kami di ruangan itu.

Aku ikut bahagia melihat Ibu tertawa. Sahabat-sahabatku yang lain seperti---Ladya, Linda, dan Rafael---ikut tertawa melihat tingkahku dan Damar. Kurasa selama ini aku kurang menghargai kehadiran sahabat-sahabatku yang secara sukarela merayakan ulang tahunku. Mereka melakukan ini demi diriku agar traumaku di masa lalu tersingkirkan dengan kebahagiaan yang mereka ciptakan. Adikku benar, aku memupuk terlalu banyak kesedihan sehingga melupakan sahabat-sahabatku. Maka dari itu, aku berharap kebahagiaan melimpahi hidupku di umur 18 tahun ini. Aaamiin.

"Jadi, mumpung kita di sini, mending kita kerjain tugas dari Bu Tantri sekarang," usul Ladya.

"Heee ... Bram kan lagi ulang tahun, sempet-sempetnya lo nginget tugas sekolah." kata Linda dengan bibir ditekuk ke bawah.

"Emang lo mau kena hukuman dia? Kalo gue, sih, ogah," ucap Ladya.

"Oh ya, tugasnya apa, sih kemarin? Tentang trigonometri?" tanyaku pada Ladya sambil mengunyah kue ulang tahunku.

"Iya, Bram. Mumpung Wi-Fi di tempat lo kenceng, kita cari di Google aja."

"Ujung-ujungnya Google juga, heuhhh...." kata Linda.

"Emang kenapa?" tanya Ladya pada kami semua. Memang, diantara kami Ladya yang paling pemalas. Selalu mencari cara instan dalam menyelesaikan sesuatu.

"Otak lu jadinya useless, Ladya kalau ngandelin Google terus," tukas Rafael yang asyik dengan gamenya.

"Alah, lo sama aja kali Raf," kata Ladya tidak terima.

"Udah-udah, abis ini kita kerjain tugasnya bareng-bareng deh. Nih, makan kuenya." Aku pun menawarkan kue ulang tahun itu kepada mereka karena aku sudah melahap banyak. Jujur, kuenya memang enak sekali.

"Bram, Mama sama Fira tidur duluan, ya. Eh, kalian kalo mau nginep di sini boleh, kok."

"Iya, tante. Makasih, ya," ucap Ladya.

Sahabat-sahabatku tahu betul Ibuku memang baik orangnya. Begitu pun aku yang sangat mengagumi kebaikan Ibu kepada sahabatku. Tidak heran kalau Ayah betah dengan Ibu karena kemuliaan hatinya. Makanya, setelah peristiwa itu Ibu selalu terkenang sosok Ayah. Namun, Ibu terlalu pandai menyembunyikan kesedihannya. Sampai aku pun sulit membaca isi pikirannya apa dia baik-baik saja atau tidak. Ah, aku memang tidak peka. Pantas saja pacarku memutusiku. Eh ... curhat jadinya.

"Rafa, lo masih aktif bikin konten di Youtube?" tanyaku pada Rafa. Sahabatku ini adalah salah satu orang yang sangat menyukai hal berbau supranatural atau horor. Pembahasan di kontennya tidak pernah jauh dari kesan horor.

"Aktif, kok. Rencananya gue mau ngajak kalian penelusuran gitu di tempat-tempat serem," jawab Rafael.

"Emang tempat serem di kota ini apa?" tanya Damar, kali ini dia terlihat antusias dengan pembahasanku dengan Rafael.

"Banyak aja, sih. Inget rumah kosong di sebelah rumah Bu Wati, nggak?"

"Inget, sampe sekarang. Dulu kita berlima sering lewat situ kan kalo main?" kata Linda sambil mengingat-ingat sesuatu.

"Nah, itu. Katanya nggak dibolehin lagi ke situ, takutnya mempengaruhi orang-orang yang masuk. Hantunya bisa ngajak orang buat ikutan bunuh diri."

"Serem! Nggak mau, ah," ucap Ladya penuh penolakan.

"Ya, gue juga nggak mau. Walau gue demen sama yang horor, kalau ke situ pun nyali pasti ciut."

"Lah, katanya tadi mau ngajak kita penelusuran di tempat serem. Gimana, sih, Raf?" ucapku sambil menggaruk kepalaku gatal.

"Wacana doang. Gue nggak seberani itu, hehe."

"Yeee ... cemen juga ternyata," tukas Damar.

"Apa lo bilang?" kata Rafael setengah tersulut.

"Udah-udah, kerjain cepet tugas kalian!" tegas Linda.

Ditengah-tengah sibuknya mengerjakan tugas, ada gagasan gila dalam benakku yang tidak sengaja kulontarkan ke Rafael.

"Rafa, lo ngerti cara manggil hantu gitu nggak?" tanyaku penasaran. Kami berdua berbisik-bisik supaya yang lain tidak curiga.

"Emang buat apa, Bram? Mau manggil siapa?"

Aku jadi senewen karena Rafael memberondongiku dengan banyak pertanyaan. Fokusku pada tugas sekolah jadi teralihkan karena aku masih merindukan Ayah. Aku mengurungkan niat itu dan kembali mengerjakan tugasku.

"Nggak jadi," ucapku.

Rafael juga kembali menyibukkan dirinya pada tugas sekolah itu. Sementara itu, Ladya terlihat penasaran dengan hal yang kami berdua bahas.

"Bisik-bisik apa kalian?" tanya Ladya hingga membuyarkan fokus anak-anak lain yang sedang mengerjakan tugasnya.

"Eummm ... nggak ada apa-apa." Kuperlihatkan senyum termanisku ke Ladya, meyakinkan dirinya kalau aku tidak menyembunyikan apa-apa. Selanjutnya, aku mengulum senyum.

'Huh, hampir aja.'

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang