Kulangkahi koridor dengan kepala tertunduk. Aku khawatir ketakutanku menjadi kenyataan. Aku rasa kelompok sekte itu telah melakukan sesuatu kepadaku. Mereka mengusik pikiranku. Aku diperlihatkan Ibu tergeletak bersimbah darah di dapur, padahal sebenarnya ia baik-baik saja. Begitupun Syafira yang sedang menunggu hidangan tiba. Kulihat Adikku juga bersimbah darah, padahal kenyataannya tidak ada noda sedikitpun pada seragamnya. Ia makan dan aku juga makan. Semua tetap normal, hanya saja pikiranku yang terusik.
"Hai, Bram!" sapa Damar, disusul teman-teman yang lain.
Kuangkat kepalaku dan memandangi mereka satu persatu.
Dorrr!
Aku terkejut melihat Damar yang tiba-tiba tertembak. Peluru itu mengarah tepat di kepala.
"Bram, lo kok jahat banget, sih?!" omel Kartika.
Dorrr!
Dorrr!
Dorrr!Selanjutnya, Kartika juga tertembak. Peluru itu menancap tepat di bagian perut. Dengan gamblangnya usus-usus itu keluar. Kartika yang berusaha bertahan mengembuskan napas terakhir dan ambruk.
"Bram, lo ja..."
Dorrr!
Rafael, Linda, dan Ladya juga mati tertembak sebelum mengucapkan sepatah kata. Hingga pada akhirnya aku tersadar bahwa aku telah membunuh mereka semua. Kubuang pistol yang kupegang, menoleh ke jendela dan bercermin. Aku bermandikan darah, sekujur badanku penuh noda karena cipratan tubuh yang kutembak.
Siswa-siswi sekolah memergoki-ku bercermin di jendela mereka. Tangan mereka bertempel dan serempak menyebutku pembunuh. Dari kiri, kanan, hingga belakang, para siswa-siswi berkerumun. Mereka ikut menyebutku pembunuh.
"Pembunuh!"
"Pembunuh!"
"Pembunuh!"Titik-titik air mata berjatuhan. Kuguncang-guncangkan tubuh mereka, tetapi tidak ada respon. Tidak ada embusan napas, tidak ada denyutan jantung, tidak ada detak nadi. Apa yang telah kulakukan? Kenapa aku membunuh mereka?!
"Aaaaaa!!!"
Kesedihan tak mampu kubendung lagi. Begitu berdosanya aku telah membunuh mereka semua. Akankah Tuhan mengampuniku kalau sudah begini? Mungkin dalam waktu dekat aku akan dijebloskan ke Neraka.
"Bram, kenapa? Hei!"
Suara Damar membuyarkan kesedihanku. Masih dalam tangis yang pecah, kukerjap-kerjapkan mata perlahan. Aneh sekali, mereka masih hidup. Rasanya sakit ketika pipiku tiba-tiba ditampar Rafael. Kupandangi kedua tanganku, tak ada darah sedikitpun.
"G-gue kenapa?!"
"Lah, seharusnya kita yang nanya. Lo kenapa, Bram?" tanya Kartika yang tampaknya merasa aneh.
"Bukannya tadi kalian?" Kutunjuk wajah mereka satu persatu, menyentuh masing-masing pundaknya. Keadaan mereka bersih tidak berdarah.
"Bram, hidung lo!"
Darah bercucuran dari rongga hidungku. Belum sempat kubersihkan kesadaranku tiba-tiba tumbang.
~
Pelan-pelan kubuka mata. Dengan pandangan buram aku menebak-nebak di mana aku berada. Kugosok-gosok mataku agar bisa melihat lebih jelas lagi. Di dekat pintu berdiri sosok Kuntilanak dengan wajah tertutup rambut. Kuntilanak itu maju mendekat ke tempatku berbaring. Disingkirkannya rambut tergerai yang menutup wajahnya. Ia menampakkan wajahnya yang rusak seperti sehabis dikuliti.
"Ada apa sama wajah kamu?"
Aku mengubah posisi berbaring menjadi duduk selonjoran. Aku tidak tahu makna dari tatapan kosongnya. Kuntilanak itu terus memegangi wajahnya.
"Aku begini karena seniorku," jawabnya.
"K-kamu korban juga?"
Ia mengangguk. Dia bercerita kalau dahulu ia adalah sosok yang cantik. Dia sangat dikagumi di lingkungan sekolahnya. Hingga pada suatu masa, sekelompok anak perempuan iri padanya dan merusak wajah cantiknya.
"Jadi karena muka kamu begitu, kamu dibully?"
Dia mengangguk.
"Kamu kenal sosok yang aku bebasin semalam?"
Tangisnya pecah kala aku menanyakan hal itu, meski tanpa air dari pelupuk matanya. Berdasarkan pengetahuanku, jiwa yang telah mati tidak bisa mengeluarkan air mata. Mereka tetap bisa menangis, namun tanpa air mata.
"Jadi kamu temannya?"
Dia mengangguk dan tangisnya lebih pecah kali ini. Aku mencoba menarik kembali memori tentang Rohayati saat terakhir ia bercerita kepadaku. Pada hari itu temannya sempat mengajaknya mampir dahulu ke rumahnya sebelum pulang, namun dicegah Arif. Wajah perempuan ini masih bagus saat itu. Mungkin jarak meninggalnya dengan Rohayati agak jauh.
"Ah, ya! Kamu emang cantik, sih. Hihi...."
Dia berhenti menangis dan tersenyum, walau mengerikan. Kuntilanak ini mengaku tahu pembunuhan berencana yang dilakukan ketiga pemuda itu. Dia tidak berani mencegah karena takut. Ia takut akan menjadi korban pelecehan Nandan, Arif, dan Surya selanjutnya. Dalam jarak waktu yang agak jauh, anak buah Arif termasuk perempuan yang merusak wajahnya adalah suruhan Arif. Ketiga pemuda itu tahu kalau teman Rohayati ini sempat memergoki kasus pelecehan itu. Lantaran takut kalau teman Rohayati ini melaporkan mereka ke polisi dan bertindak sebagai saksi, maka ketiga pemuda itu menyuruh anak buah perempuannya untuk merusak wajahnya, membuatnya depresi, mendorongnya untuk bunuh diri.
"Siapa nama kamu?"
"Nisa," jawabnya.
Perlahan wujudnya berganti dengan sosok cantiknya dulu. Dia mengaku lega karena bisa menceritakan semua.
"Kamu cantik," ucapku memuji dan Nisa tersenyum malu.
"Terima kasih," ucap Nisa.
"Jadi seberapa banyak yang kamu tau tentang pembunuhan di sekolah ini?"
"Ada banyak, tapi nggak semua orang tau. Yang mereka tau cuma Rohayati itu. Walau dulu Kepala Sekolah pernah dipecat, dia tetap nekad mencalon lagi," urai Nisa.
"Loh, bukannya setelah dipecat nggak boleh lagi mimpin jabatan, ya?"
"Kalau itu aku juga tau, tapi Kepala Sekolah itu konglomerat. Hartanya banyak. Dia bisa beli semua pake uang, termasuk jabatannya."
"Oh, begitu. Aku ngerti. Jadi soal kematianmu ini, nggak ada orang yang tau juga dong."
"Iya, semua orang disuruh bungkam sama dia, demi reputasi sekolah."
Saat berbincang-bincang, tampak Kepala Sekolah yang kebetulan lewat di depan dan melihat ke UKS sesaat.
"Itu dia Kepala Sekolahnya," ucap Nisa menunjuk.
Baru saja mau bertanya, tiba-tiba Nisa menghilang. Semoga saja Kepala Sekolah tidak mendengar pembicaraanku dengan Nisa barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Kematian Ayah [TAMAT]
HorrorKehilangan seorang ayah menjadi hal terberat bagi sosok Brahmana Putra. Rasa trauma yang memupuk membuat Bram kehilangan kendali atas dirinya. Karena hidup tidak mungkin terus begini, Bram memperoleh dukungan dan kekuatan dari sahabat-sahabatnya. Wa...