07. Perempuan Misterius

277 22 2
                                    

"Loh, kenapa?" Damar dan yang lain mencecarku dengan banyak pertanyaan. Sikapku mulai gusar, kuperingatkan kepada mereka satu persatu agar jangan menaiki bianglala itu.

Mereka berlima mundur dan berdiri di belakangku. Ada salah seorang penumpang bianglala yang hampir terjepit rantai besi saat hendak keluar dari wahana tersebut. Aku jadi terbayang rasa sakit anak itu saat terjepit. Jantungku berdetak tak karuan, keringat kembali mengucur pelipisku. Aku takut bianglala itu memakan korban jiwa lagi seperti dulu kalau sahabat-sahabatku menaikinya.

"Astaga!" Ladya terkejut melihat peristiwa itu.

Niat menaiki bianglala pun urung. Beruntungnya, penumpang terakhir yang keluar dari sana baik-baik saja. Menurut warga sekitar, bianglala itu sering memakan korban. Tak jarang, ada lima sampai sepuluh orang yang meninggal. Aku menduga bianglala itu meminta tumbal. Bulu kudukku meremang, aku semakin yakin kalau bianglala itu benar-benar berhantu.

"Aku tahu kalian nggak akan percaya, tapi gue liat seorang anak laki-laki kejepit rantai besi bianglala itu. Anak itu geger otak berat." Kali ini aku serius, tapi mereka tidak mungkin percaya.

"Ha? Masa?"

"Jangan halu, Bram!"

Mereka berpikir kalau aku sedang membual, padahal itulah kenyataan sebenarnya. Masa lalu wahana bianglala yang memakan korban bertahun-tahun warga tutupi. Damar, Ladya, Linda, dan adikku Syafira meninggalkanku saat itu. Mereka menaiki wahana yang lain tanpa mengajakku. Hanya Rafael satu-satunya orang yang bersamaku malam itu.

Aku dan Rafael menaiki kincir putar bermuatan dua tempat duduk yang berhadapan. Kami saling bertatap muka, kuceritakan semua dari awal kenapa sikapku berubah aneh beberapa hari ini. Rafael terlihat antusias, sekarang aku mulai menceritakan tragedi bianglala yang memakan korban tersebut.

"Lo percaya sama gue kan, Raf?"

"Iya, Bram. Nggak usah permasalahin mereka yang bilang perkataan lo cuma omong kosong. Untuk hal diluar nalar begini gue emang percaya."

"Gue benar-benar lihat sendiri gimana anak itu kejepit. Gila banget, sumpah! Nggak sanggup rasanya. Gue jadi ngeduga bianglala itu minta tumbal."

"Katanya gitu sih, Bram. Bener kata lo, bianglala itu minta tumbal."

"Ha? Yang bener?!"

"Warga selama ini bungkam terhadap kasus ini. Mereka nggak mau ungkit lagi masa lalu itu. Mereka nggak mau warga lain jadi takut."

"Tapi gue pikir nggak seharusnya bianglala itu dibiarin beroperasi lagi. Gue takut korbannya bakal tambah banyak lagi." Seolah dapat memprediksi yang akan terjadi, aku melihat darah menggenangi bianglala itu di waktu yang akan datang.

Aku juga tidak menduga kalau Rafael lebih tahu soal peristiwa tragis wahana bianglala pada tahun 2006 lalu.

"Warga membenarkan peristiwa tahun 2006 itu, Bram, termasuk gue. Hal itu benar-benar terjadi saat dulu. Dan lo masih nganggep semua ini halusinasi? Pikir sekali lagi, Bram. Emang ada halusinasi yang kenyataan?"

"Eummm .... nggak ada, sih."

"Pikir, Bram! Apa lo yakin semua ini cuma imajinasi?"

Bagai diinterogasi polisi, Rafael memberondongiku dengan berbagai pertanyaan. Dia membuatku berpikir keras.

"Apa mata batin gue kebuka?"

Dulu, Kakek berjanji bertemu denganku pada saat 18 tahun. Aku tidak tahu apa-apa maksud kedatangannya pada malam itu. Dia menyentuh keningku persis seperti saat aku tersesat di lorong gelap. Apa jangan-jangan Kakek telah membuka mata batinku?

"Ha? Mata batin lo kebuka?"

"Gue juga nggak yakin sama hal ini, Rafa," jawabku.

"Ya, gue harap, itu nggak terjadi sama lo, Bram. Karena hanya orang-orang terpilih yang ditakdirkan memiliki mata batin. Punya kemampuan seperti itu pun nggak gampang. Pasti capek."

"Semoga aja, Raf. Gue nggak mau begini terus." Kini tubuhku sedikit membungkuk, merenungkan seperti apa nasibku bila terus mengalami halusinasi begini.

"Jangan terlalu dipikirin, Bram. Gue langsung tarik kesimpulan aja, deh. Mungkin ini semua cuma kebetulan."

Kincir putar berhenti, kuputuskan pergi ke rumah tanpa adikku. Dia akan aman selama berada dalam genggaman sahabatku. Aku tidak ingin mencemaskannya karena kupikir Syafira sudah cukup dewasa. Aku berdiri di ambang pintu, menekan bel dan menunggu Ibu membuka pintunya.

"Loh, udah pulang?" Aku langsung masuk menuju kamar tanpa menjawab pertanyaan Ibu.

"Syafira mana?!!" Ibu berteriak sesaat sebelum aku mengunci pintu.

"Sama temen-temenku! Aku udah bilang ke Rafa, kalau udah selesai main di sana suruh anterin Fira pulang!!!"

Aku tidak ingin diganggu malam ini. Aku ingin menenangkan diri dan membebaskan otakku untuk merenung. Kehidupanku berubah setelah Kakek datang malam itu. Banyak hal-hal tidak lazim yang sepatutnya tidak kusaksikan. Batinku lelah melihat mereka, ditambah lagi suara-suara minta tolong yang terus merecoki kepalaku.

"Sudah, cukup!!!" Walau sudah menutup telinga, tidak mempan juga. Rasanya, halusinasi ini semakin tak terkendali.

Kupandangi jam kuno itu, sekarang sudah jam dua subuh. Anehnya, suara minta tolong itu menghilang. Dengan waktu yang tersisa, kuputuskan tidur sebelum suara-suara itu datang kembali.

~

Aku melangkahi gerbang sekolah dengan terkantuk-kantuk. Kesempatanku tidur lebih lama mulai terkikis karena suara-suara mengganggu itu. Siap tidak siap, aku akan kembali menyaksikan hal tidak lazim di sekolah ini. Perempuan bunuh diri itu tidak mungkin pergi dari toilet, wanita berambut panjang yang berdiam diri di UKS itu kemungkinan berpindah tempat. Berbeda dengan Rohayati yang terkurung selamanya di lemari itu.

"Aw!"

Secara tidak sengaja aku bertabrakan dengan seorang perempuan berjaket hitam dengan kepala tertutup tudung. Anehnya, tubuhku memberi reaksi korslet saat bersentuhan dengannya.

"Maaf, nggak sengaja." Aku mempercepat langkahku, sesekali menoleh memandanginya. Perempuan itu terlihat misterius dan punya sorot mata yang tajam. Wajahnya datar tanpa ekspresi, bibir pucatnya tidak memancarkan senyum sedikitpun.

"Dasar manusia aneh."

Aku terkejut begitu mendengar suara itu. Apa yang perempuan itu lakukan? Apa dia membuka komunikasi batin denganku? Aneh, aku bisa membaca isi pikirannya, begitu pun dia. Tanpa sadar, kami mulai telepati melalui batin.

"Maaf, nggak bermaksud," jawabku melalui batin.

Aku menoleh ke arahnya lagi, tampaknya dia sama terkejutnya sepertiku. Aku telah membuatnya salah tingkah dan malu-malu. Jelas sekali pipinya merah padam.

"Ternyata dia cantik juga kalau lagi senyum."

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang