15. Menuju Desa Kembang

238 17 0
                                    

Sabtu, 14.00 WIB

"Dek, janji buat jaga rahasia ini, ya?"

"Iya, Kak, tenang aja."

Kupercayakan Adikku untuk merahasiakan keberangkatanku menuju Desa Kembang siang ini. Aku tidak mau Ibu sampai tahu. Aku juga tidak ingin urusan perdukunan ini merembet ke keluargaku.

Aku telah merencanakan pembebasan Rohayati semantap mungkin. Arsip sekolah milik Rohayati telah aku fotokopi. Setelah kuperiksa identitasnya, tidak kusangka Rohayati juga berasal dari Desa Kembang. Tempat kelahiranku. Aku rasa berkas-berkas ini akan berguna untuk ditanyakan kepada penduduk desa. Mungkin mereka tahu sesuatu dan bisa saja kerabatnya yang masih hidup ada di sana.

"Aku berangkat, ya. Kamu jaga rumah. Kalau makhluk besar itu datang lagi, telepon aku. Biar aku pulang langsung nanti," pintaku.

"Tapi, Kak, bukannya ngerepotin kalau begitu?"

"Aku bersedia direpotin asal keluargaku aman," jawabku.

Tanpa ragu aku melangkah keluar untuk menyelesaikan misiku membebaskan Rohayati. Barang-barang yang diperlukan sudah siap, tinggal menunggu Damar dan teman-teman datang.

"Loh?"

Secara gamblang mataku menangkap objek sekumpulan orang-orang mengenakan jubah merah. Apakah aku sedang berhalusinasi sekarang? Untuk memastikannya, aku mengerjapkan mata sesaat kemudian kembali melihat ke depan.

"Nggak ada? Hmm ... mungkin benar. Cuma halusinasi gue doang."

TIIN TIIN!

Yang ditunggu sudah datang. Damar membuka jendela mobil dan melambaikan tangan. Aku pun menuju mobil dengan segera dan duduk di kursi penumpang.

"Semua siap?!" kata Damar memastikan.

"Siap!"

Sejenak suasana hening. Damar memimpin doa untuk keselamatan perjalanan hari ini. Aku harap semua baik-baik saja. Semoga Engkau melindungi perjalanan kami hari ini, Tuhan.

"Sabuk pengamannya jangan lupa dipake, temen-temen!" kata Damar mengingatkan.

Aku adalah pemandu tur ke Desa Kembang hari ini. Dengan bermodalkan GPS, kami tidak akan tersesat. Mobil yang digunakan sekarang adalah milik Rafael. Posisi menyetir tampaknya diserahkan ke Damar yang kebetulan pernah berkunjung ke Desa Kembang sebelumnya.

"Terakhir kali ke Desa Kembang kapan, Bram?" tanya Damar dengan tetap fokus menyetir.

"Kayaknya pas 11 tahun yang lalu. Dua tahun setelah Papa gue meninggal."

"Gue dulu pernah ke sana juga soalnya, tapi sekadar lewat gitu aja. Bentukan desanya gue nggak asing, sih. Masih banyak pohon kayak desa biasanya," kata Damar dengan pengetahuan alakadarnya.

"Gue kok ngerasa kek ada yang ngikutin kita, ya?"

Ucapan Kartika mendadak membuat bulu kudukku berdiri. Setelah aku tahu Kartika lebih terbuka dibandingkan pertama kali aku mengenalnya, sekarang ia berubah ceplas-ceplos terhadap makhluk yang dilihatnya.

"Jangan bahas itu di mobil, Tika! Kita lagi dalam perjalanan ini!" ucapku dengan nada tinggi.

"Oh, maaf. Tapi serius loh kek ada yang...."

"Sssst!!!" Kupotong pembicaraannya karena Kartika mulai menyebalkan.

Tiba-tiba Damar mengerem mendadak. Mobil pun berdecit hebat, untungnya kami terlindungi sabuk pengaman.

"Ada apa, Damar? Kenapa ngerem mendadak begini?!" tanya Rafael dengan lantangnya. Tidak menampik kemungkinan kami semua juga terkejut. Bibir ini pucat bersamaan.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang