09. Jin Penglaris

239 24 0
                                    

"Lo mau ikut makan di kantin nggak? Temen-temen gue pada nunggu di sana."

Aku mengajak anak baru itu untuk makan, syukurlah dia menyetujuinya. Sambil menuju kantin, aku memperkenalkan padanya beberapa ruangan yang belum ia ketahui.

"Kenapa sekolah kalian ini banyak tragedinya ya?"

Kartika berhenti di depan UKS. Ia mengarahkan telapak tangannya untuk menyentuh pintu tersebut.

"Lo kenapa Tika? Sakit?"

Kartika menggeleng, kemudian tangan kirinya menyentuh tangan kananku. Melihat matanya terpejam aku juga ikut memejam. Tanpa sadar, Kartika membagi memori tragedi pembunuhan di ruang Unit Kesehatan Sekolah tersebut. Wanita berambut panjang yang kutemui tempo hari terbunuh dengan tragis tepat di ranjang UKS yang kubaringi.

Spontan kulepas tangannya, aku benar-benar tidak tahan melihat darah. Aku merasa tidak nyaman dan punya firasat buruk. Apa aku jauhi saja anak baru ini? Karena suatu saat mungkin ia akan membongkar satu persatu tragedi di sekolah ini. Salah satunya yang paling banyak adalah kasus pelecehan. Selama ini aku bungkam, kalau kepala sekolah memerintahkan untuk tetap diam dan tidak bertindak membukanya ke publik, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Semua warga sekolah harus patuh.

"Udah Tika, kita ke kantin sekarang!" Kucengkeram kuat pergelangan tangannya. Ia mengeluhkan sakit namun aku tidak peduli. Untuk kesekian kalinya kami menghentikan langkah. Tampaknya Kartika marah.

"Lo kenapa sih? Apa lo bakal diem aja sama semua ini?!"

"Udah Tika, jangan coba-coba ungkit masa lalu yang ada di sini. Kami kek begini karena peraturan sekolah yang nyuruh kami bungkam," ucapku berbisik.

Aku sedikit tersulut dengan perlakuannya yang tampak semena-mena ingin membongkar masa lalu sekolah ini. Mau tidak mau aku harus mencegahnya. Ancaman terbesar apabila ada yang mencoba melaporkannya ke polisi yaitu dikeluarkan dari sekolah. Aku tidak ingin hal itu menimpa Kartika maupun aku.

"Lebih baik dikeluarin dari sekolah daripada menutupi kebenaran begini."

"Patuhi aja Tika, ini demi kebaikan bersama."

Aku membuang napas kasar. Kami saling bersitegang kini, dan aku berusaha memperbaiki keadaan dengan mengajaknya makan di kantin Bi Ati. Teman-temanku sudah lama menunggu, sejak tadi aku berjanji kepada mereka setelah tugasku selesai menyusul mereka di sana.

"Gue nggak mau ke sana, Bram."

Padahal sudah hampir sampai, tetapi Kartika lagi-lagi berhenti melangkah. Perutku sudah keroncongan begini dia malah mengulur-ulur waktu makanku. Ada sedikit penyesalan mengajaknya ke sini karena sosoknya begitu cerewet dan sulit dimengerti. Maklum saja, aku baru mengenalnya beberapa jam yang lalu.

"Apa lagi kali ini?" tanyaku sambil mengacak pinggang, sesaat ku usap rambutku yang mulai gatal karena paparan sinar matahari.

"Kasian kantin lain jadi sepi pembeli gara-gara dia."

Kartika merasa heran dengan kantin Bi Ati yang ramai sedangkan kantin lain sepi pembeli. Aku rasa tidak ada yang salah dengan semua itu karena masakan Bi Ati adalah yang paling enak dari semua kantin sekolah ini. Setelah Kartika memberitahuku beberapa hal janggal dibalik kantin Bu Ati, baru aku sadari Bi Ati selicik itu.

Kuperhatikan baik-baik wajahnya dan lama kelamaan wajah Bi Ati terlihat aneh. Di wajahnya tumbuh bulu-bulu halus dan bentuk matanya berubah tidak seperti manusia. Lama kelamaan wajahnya berubah seperti kera, lidah panjangnya menjulur-julur kemudian ia meneteskan air liurnya ke makanan tersebut. Selera makanku hilang setelah menyaksikan hal tersebut.

"Pantes mereka makannya lahap banget, itu aja ada yang nambah sampe tiga piring," ujar Kartika.

Kantin-kantin yang sepi dihuni oleh pocong. Sosoknya kadang melayang-layang di atap kantin, ada juga yang berdiri mematung dan berdiam diri di atas pohon.

"Gue ke toilet dulu, Tika!"

Aku pergi ke toilet untuk memuntahkan semua isi perutku. Sia-sia rasanya sarapan pagi tadi kalau ujung-ujungnya dimuntahkan begini. Aku jadi merinding sekaligus merasa jijik melihat sosok manusia berkepala kera itu meludahkan air liurnya ke makanan itu.

"Mungkin setelah ini gue bakal bawa bekal dari rumah aja," gumamku dalam hati.

Kupegangi perut kosongku, berjalan dengan terhuyung ke arah Kartika.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Kartika sambil memegang kedua pundakku. Aku menggeleng, kuakui kalau aku tidak baik-baik saja setelah melihat sosok kera berlidah panjang itu. Aku menolak pergi ke UKS dan memilih duduk bersama Kartika saja di kursi panjang.

"Ternyata pemilik warung itu yang nutup rezeki kantin-kantin lain dengan naruh pocong di masing-masing kantin. Jahat banget, sih," ucap Kartika bernada geram.

"Ternyata dia pake penglaris selama ini," ucapku.

Aku sangat menyesal begitu tahu Bi Ati menggunakan jin penglaris agar dagangannya laku. Jujur, dulu aku pernah ketagihan saat makan di kantinnya. Setelah tahu perilakunya begitu, aku jadi enggan makan di kantin lagi.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang