20. Masa Lalu Ayah

203 19 4
                                    

"Kakak kok pucat banget, sih?"

Aku dibaringkan di kamar berbekal selimut tebal. Sekujur tubuhku meriang setelah pingsan di sekolah tadi. Suapan bubur mendarat ke mulutku. Walau sudah kutolak beberapa kali, Syafira tetap bersikukuh menyuapiku bubur. Liurku sudah pahit, dipaksa makan bubur pula.

"Ma, Kakak nggak mau makan nih!"

"Iya-iya, aku makan."

Hampir bubur itu mendarat ke mulutku, Ibu sudah tiba di dekat pintu melemparkan senyum kepadaku.

"Sini, Nak, biar Mama aja yang suapin Kakakmu. Kamu sana gih, kerjain PR-nya."

"Dari tadi juga emang pengen ngerjain, Ma. Kakak nih ngerepotin!" tandas Syafira.

"Dih, enak aja. Aku juga nggak mau sakit gini," bantahku.

"Bodo, ah!"

"Eh, kamu ya!" Ingin kujitak kepala Syafira sekarang, tetapi akhirnya aksiku dihentikan Ibu. Lagi-lagi, satu sendok bubur segera mendarat.

"Ma...," ucapku memalingkan muka, menolak bubur tersebut.

"Ayo, makan. Biar cepet sembuh. Mau, ya?"

Ingin melawan tapi aku tidak berani. Tatapan Ibu yang teduh memaksakanku untuk tetap memakan bubur tersebut. Cepat-cepat aku minum, menyingkirkan rasa mualku. Aku bernapas lega setelah bubur itu berhasil kutelan.

"Ma, Bram pengen ngomong sesuatu."

"Ngomong apa, Sayang?"

Kuhimpun keberanianku untuk berterus-terang. Kutatap lekat mata Ibu hingga tak sadar air mataku keluar.

"Cerita aja," ucap Ibu mengusap air mataku.

"A-aku ngeliat kematian, Ma."

Ibu tampak terkejut lalu menutup mulutnya dengan tangan.

"Aku ngeliat kalian berdarah-darah di dapur, Ma. Di sekolah aku juga liat teman-temanku mati karena aku, Ma."

Ibu masih tidak merespon. Ia mencoba menenangkanku sebisanya. Ketakutanku akan kehilangan semakin nyata. Sungguh aku tak mau begini. Andai saja aku tidak mencari tahu sampai sejauh ini.

"Bram juga pengen ngakuin sesuatu," ucapku.

"Apa itu?" tanya Ibu penasaran.

"Mama ingat selimutku yang sobek itu?"

Ibu merenung sesaat, mengingat-ingat kembali sesuatu yang mungkin ia lupakan. "Iya, inget. Memangnya kenapa?"

"Itu karena 'mereka', Ma," ucapku sambil mengacungkan dua jari kiri dan dua jari kananku. Anggap saja itu caraku mendeskripsikan hantu yang kumaksud.

"Kamu nggak lagi bercanda, kan?" tanya Ibu sambil mengusap wajahku.

Kemudian aku pun mengenggam tangannya, berharap ia mempercayaiku. "Bener, Ma. Alasanku sering pingsan waktu itu karena ngeliat mereka."

"Kenapa kamu nggak cerita ke Mama?"

"Aku takutnya Mama nggak percaya," ucapku sambil mengerucutkan bibir.

"Padahal nggak apa-apa. Terbuka aja sama Mama. Dulu Mama pernah liat yang seperti itu juga, kok."

Ini diluar dugaanku. Seandainya saja aku berterus-terang saat itu tanpa mengecualikan Ibu. Ia bercerita kalau ia pernah memiliki kemampuan melihat makhluk astral juga sepertiku, tetapi semakin Ibu bertambah umur kemampuannya menghilang.

"Kemampuan itu dulunya pernah Kakek wariskan ke Ibu, tapi Ibu nggak mau. Ibu menolak pemberian Kakek karena pengen hidup normal aja," ucap Ibu sambil mengecup tanganku.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang