21. Jebakan

236 19 0
                                    

Hampir seminggu aku tidak turun sekolah karena demam. Aku tak tahu bagaimana kabar sahabatku setelah lama tidak keluar rumah. Aku hanya bisa melihat sosok Adikku dari balik jendela. Dia tersenyum, melambaikan tangan kepadaku sebelum berangkat, setelah itu sosoknya lenyap terhalang atap mobil.

"Gue harap semuanya baik-baik aja," gumamku gundah.

Kujadikan selimutku sebagai selendang, menuruni anak tangga menuju ruang tengah. Televisi kuhidupkan, mengusir kebosanan yang melandaku sepanjang hari.

"Permisi, Den. Bibi bersihkan mejanya dulu," ucap Bibi dengan kemoceng ditangan.

"Oh, iya, Bi. Silakan."

"Mau saya buatkan teh, Den?" kata Bibi menawarkan.

"B-boleh deh, Bi. Kebetulan saya ngerasa dingin. Butuh yang hangat-hangat."

"Tunggu sebentar, Den."

"Iya, Bi."

Tubuhku gemetar karena menggigil. Kututupi badanku dengan selimut karena dingin semakin menjalar ke seluruh tubuh.

Reporter pria:
"Selamat pagi para pemirsa di rumah. Pagi ini kami akan membawakan berita yang pernah geger pada tahun 1989 silam."

Reporter wanita:
"Pelaku pembunuhan yang tidak pernah terkuak identitasnya tersebut akhirnya menyerahkan diri ke polisi."

Reporter pria:
"Pelaku mengakui bahwa mereka telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak 17 tahun tersebut. Ketiga pelaku merupakan salah seorang alumni SMA 2 Armada."

Reporter wanita:
"Tidak hanya kekerasan seksual, pelaku juga menusuk tubuh korban berkali-kali dengan pisau belati."

Reporter pria:
"Ketiga pelaku masing-masing berusia 30 tahun. Tidak hanya pembunuhan berencana, mereka juga mempraktikkan ilmu hitam."

"Ini, Den, tehnya." Bi Minah menghidangkan teh yang kuminta di atas meja.

Aku tertegun begitu mendengar berita tersebut. Bagaimana bisa dengan mudahnya mereka menyerahkan diri ke polisi? Apakah Rohayati benar-benar telah membalaskan dendam kepada lelaki bejat itu?

"Wah, kasus itu rupanya," kata Bibi.

"Bibi tau kasus ini juga?" tanyaku tidak menyangka.

"Tau lah, Den. Seluruh Indonesia geger sama kasus ini. Nggak mungkin Bibi ga tau."

Lalu aku menyimak lebih lanjut berita yang tersiar sambil menyeruput tehku. Benar-benar diluar dugaan. Nandan, Arif, dan juga Surya menyerahkan diri ke polisi.

~

Aku berhasil meyakinkan Ibu bahwa aku sudah sembuh. Pagi ini aku pergi sekolah dengan semangat. Seusai berpamitan, aku pun berangkat naik taksi bersama Adikku. Semasa sakit, aku tidak memperhatikan Adikku. Ada yang berbeda darinya. Biasanya ceria, kini terlihat pendiam.

"Kenapa kok kamu kek murung gitu. Ada masalah di sekolah, ya?" tanyaku penuh selidik.

Syafira tidak merespon. Sepanjang perjalanan suasana canggung. Niat menginterogasi pun urung. Aku akan menunggu sampai keadaan baik, setelah itu akan kutanyakan kembali kalau waktunya tepat.

"Kamu bener nggak papa?"

"Itu sekolahmu, cepet masuk sana." Syafira mengalihkan pembicaraan.

"Bentar, kamu belum jawab pertanyaan Kakak. Kamu yakin nggak papa?" ulangku.

"Aku bakal cerita kalau aku udah mau. Udah sana, pergi. Aku pengen sendiri."

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang