05. Halusinasi atau Kenyataan

327 26 2
                                    

"Bram, bangun Nak!"

"Bram, lo kenapa?!"

"Bram!!"

Cahaya lampu yang terang memasuki kornea mataku. Aku membuka mata perlahan, kulihat Damar, Rafael, Linda, Ladya dan Pak Anjar dengan raut wajah khawatir. Saat bangun, tahu-tahu aku sudah berada di UKS.

"Hei, Bram! Kenapa lo?" Ladya menyentuh pipi dan keningku, rasanya sekujur tubuhku berubah dingin.

"Astaga, kenapa badan lo bisa sedingin ini? Lo sakit, ya?"

"Nggak tahu. Gue tadi kenapa, sih?" tanyaku pada mereka.

Kemudian Pak Anjar menjelaskan hal yang terjadi padaku. "Tadi Bapak tunggu-tunggu kamu di kantor. Kenapa kok buku tugas rangkuman anak-anak nggak kamu antar? Eh pas Bapak mau balik ke ruangan, pintu sudah ditutup. Bapak kira kelas kosong dan dikunci, begitu saya masuk kamu pingsan di sana."

"Eh, serius, Bram. Lo nggak kenapa-napa, 'kan? Ini badan lo dingin semua loh," ucap Linda khawatir sambil meraba suhu tubuhku. Benar sekali, sekujur tubuhku dingin seperti baru keluar dari kulkas.

"Nggak, gak papa."

Karena keadaanku mengkhawatirkan, mereka pun menyarankanku untuk pulang saja. Namun aku menolak. Rasanya rugi bila harus meninggalkan pelajaran berikutnya.

"Nggak, gue nggak mau pulang!"

"Tapi ini badan lo dingin banget, Bram! Yakin nggak papa?" tanya Linda.

"Nggak, nggak papa."

Bel masuk kelas berbunyi, Damar dan Rafael pun memapahku keluar UKS menuju kelas. Masih terbayang olehku mengenai seorang perempuan bernama Rohayati. Kasihan dia, terkurung di dalam lemari itu. Hatiku tergerak untuk membebaskannya dari sana, tapi aku tidak punya nyali. Aku takut kalau Rohayati dibebaskan, keadaan sekolah berubah kacau dan gempar apabila kasus pelecehan itu terkuak.

'Aku harus bagaimana?' batinku berbicara.

Sekarang adalah pelajaran Matematika. Ibu Tantri, guru yang mengajar Matematika menagih tugas trigonometri untuk dikumpulkan. Sebelum menyampaikan materi baru, Ibu Tantri memeriksa satu persatu tugas tersebut.

"Bram, pinjam pulpen dong! Punya gue macet nih!" Aldi menyentuh pundakku, memohon agar dipinjamkan pulpen. Kemudian aku berbalik badan, menyerahkan pulpenku padanya.

Pandangan mataku terpusat ke lemari di belakang. Sinta, anak perempuan yang duduk paling belakang heran dengan tingkah anehku.

"Ada apa?" tanya Sinta dengan suara berbisik.

"Nggak papa."

"Mohon untuk tidak berisik anak-anak!" ucap Ibu Tantri yang terusik dengan suara bisik-bisikku dengan Sinta.

"Iya, Bu!!" kata anak-anak serempak.

Aku berbalik badan, menghadap ke papan tulis. Kejadian mengerikan seperti tadi kembali terulang. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhku berdiri. Aku merasa lemari di belakang sana bergerak-gerak. Suara lemari itu memecahkan konsentrasiku pada materi Bu Tantri. Kuputuskan untuk permisi ke toilet.

"Bu, saya permisi ke toilet sebentar."

Bu Tantri berhenti menulis di papan tulis lalu menoleh ke arahku. "Iya, silakan."

Kesempatan keluar ini kumanfaatkan untuk menenangkan diri. Aku melangkah menuju toilet. Sesampaiku di sana, aku bercermin memandangi wajah pucatku.

"Astaga, ternyata gue sepucat ini." Aku menghidupkan air keran wastafel, membasuh wajahku tiga kali. Aku menunduk memandangi pusaran wastafel itu dan merenung.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang