Malam itu sahabat-sahabatku menginap di rumahku. Damar dan Rafael tidur di lantai kasurku, sementara Ladya dan Linda tidur bersama Adikku, Syafira.
Tugas sekolah kami selesai pada pukul sepuluh malam. Sahabat-sahabatku tidak perlu khawatir merasa sempit saat tidur karena rumahku cukup luas. Damar dan Rafael sudah lelap dalam tidur mereka, sementara diriku kesulitan untuk tidur.
Seharusnya mereka merayakan ulang tahunku tepat pada pukul dua belas, tetapi keadaan tidak memungkinkan lantaran tugas sekolah kian menumpuk. Kami semua berada di jenjang yang sama, yaitu SMA. Menempuh jurusan yang sama pula. Kami kelompok anak-anak IPA yang benci hitung-hitungan. Tadi saja saat mengerjakan tugas, kami masih mengandalkan Google. Kami berlima menyepakati kalau pelajaran favorit kami hanyalah olahraga. Kemampuan olahraga kami tidak payah, buktinya sekolah mempercayai kami untuk mengikuti ajang olahraga antar-sekolah dan nasional. Urusan olahraga, kami juaranya.
"Hoammm...."
Aku tidak sanggup mempertahankan mataku tetap terbuka. Sudah saatnya, aku harus tidur sekarang. Jam klasik peninggalan almarhum Kakek berdentang. Sudah pukul dua belas dini hari. Aku pun mengubah posisi tidurku dari telentang menghadap ke kiri.
Rasanya aneh. Sungguh aneh. Aku tiba-tiba bermimpi mengenai masa kecilku dulu saat masih tinggal bersama Ayah dan Ibu di Desa Kembang. Kejadian nyata yang kualami di sana terulang melalui mimpi ini. Lagi-lagi aku teringat akan peristiwa itu.
~
Author PoV
Bendera kuning terkibar di halaman rumah Sunandar Mahendra dan Kirana Wijayanti. Berita duka meninggalnya Brahmana Putra---anak kandung mereka begitu cepat menyebar ke seluruh penduduk Desa Kembang. Usut punya usut, Bram dinyatakan meninggal dunia setelah puncaknya hari ke tujuh tidak bernapas.
Walau dinyatakan sudah meninggal Bram terlihat tertidur pulas, larut pada mimpi-mimpinya. Tidak bisa dipercaya namun inilah kenyataannya. Cara meninggalnya diluar dugaan.
Sunandar kewalahan menghadapi Kirana yang tiap kali menangisi Bram. Sunandar tahu betul betapa Kirana menyayangi anak itu.
Dekapan Kirana semakin erat di tubuh Sunandar. Tak terasa bajunya basah akibat air mata Kirana yang menganaksungai. "Sudah, Sayang, nggak perlu nangis begini. Sebaiknya kau doakan anak kita supaya tenang di sana, ya?" bisik Sunandar.
Kirana menjawab Sunandar tersengal-sengal, "T-tapi, i ... ini anak kita, Yah. Mama nggak rela."
"Sudah, Ma, ikhlaskan saja, ya? Kamu sayang sama Bram, 'kan? Doakan dia, Ma," ucap Sunandar lembut lalu mengecup kening Kirana. Bulir-bulir kecil dimata Sunandar ikut menitik, sebisa mungkin ia menyembunyikan kesedihannya pada Bram.
'Ayah yakin kamu belum meninggal, Nak. Cepat kembali, Ayah rindu,' Sunandar membatin.
Di dalam kegelapan ada seorang anak laki-laki yang tersesat. Ia mencari jalan pulang tetapi tidak ketemu. Anak itu menangis sesengukkan memohon pertolongan, berharap ada yang menuntunnya keluar dari sana.
Inilah dimensi astral. Dimensi para makhluk tak kasat mata. Bermacam-macam makhluk aneh dengan riwayat hidup mengenaskan ada di sini. Mereka lebih akrab disebut hantu, namun mereka tidak suka dipanggil hantu.
"Bisa kamu lepaskan tali yang melilit leherku ini? Aku sangat menyesal bunuh diri. Aku pikir penderitaanku di dunia akan selesai dengan ini, ternyata aku masih merasakan sakit. Tolong lepaskan tali di leherku ini, anak kecil!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Kematian Ayah [TAMAT]
HorrorKehilangan seorang ayah menjadi hal terberat bagi sosok Brahmana Putra. Rasa trauma yang memupuk membuat Bram kehilangan kendali atas dirinya. Karena hidup tidak mungkin terus begini, Bram memperoleh dukungan dan kekuatan dari sahabat-sahabatnya. Wa...