18. Membebaskan Rohayati

217 18 3
                                    

"Sini!"

"Lepasin aku!"

"Ayah, tolongin aku!"

Aku mendengar suara anak perempuan dan seorang ibu menggema dari suatu ruangan. Keduanya ditawan gerombolan Sekte Merah.

Mereka adalah Adik dan Ibuku.

Syafira dibaringkan di meja batu. Tangan dan kakinya diborgol dengan besi, setelah itu tangannya disayat dengan pisau belati.

"Sakit!!!"

"Syafira!"

"Mama, tolong!!"

Anggota sekte yang memberi sayatan ke tangan Syafira kemudian membekap mulutnya dengan lakban.

"Kamu kejam, Sunandar! Kamu tega mengorbankan keluargamu sendiri!"

"Aku begini agar aku memperoleh kehidupan abadi, Kirana."

"Nggak begini caranya! Kamu udah nggak sayang sama kita semua, hah?!"

"Aku sayang sama kamu, Kirana. Tentu saja aku sayang kamu."

"Pembohong! Kamu bukan Sunandar, kan? Kamu cuma menyerupai suamiku! Kamu bukan Sunandar!"

"Bukannya kamu rindu sama aku, Kirana? Aku Sunandar, Kirana! Suamimu!"

"Kamu Iblis! Berhentilah menjelma menjadi suamiku! Tampakkan saja wujud aslimu, Iblis!"

Persis seperti sosok yang aku lihat sebelumnya. Dari ujung kepalanya menumbuhkan tanduk seperti sosok Baphomet. Tubuh kekarnya lantas memenuhi ruangan. Sang Iblis pun tertawa menggelegar. Kemudian kupingku meneteskan cairan berupa darah. Tawanya sungguh merusak gendang telinga.

"Huhuhuhuhu!"

Tiba-tiba aku tersadar dari mimpi burukku. Dengan napas tersengal aku bangun dengan keringat mengucur. Kuperiksa telingaku kalau saja benar-benar berdarah. Ternyata tidak. Teror beruntun yang menimpaku malam ini seolah tak memberi jeda. Kemungkinan berikutnya mereka akan menyiksaku lebih dari ini. Ya Tuhan, bagaimana caraku membentengi diri? Bahkan dalam sehari gerombolan sekte itu makin gencar menampakkan diri.

"Gue harus gimana?"

~

Hari berikutnya aku pergi bertemu Kartika. Menyadari Kartika lebih mengerti hal ini, maka aku mengajaknya mendiskusikan ini di kafe.

"Gue bukan tafsir mimpi, Bram! Gue nggak bisa bilang sesuatu yang gue liat gitu aja. Takutnya gue salah dan akhirnya nyakitin hati lagi."

"Nggak apa-apa, Tika. Gue siap dengerin semuanya."

"Gue nggak bisa, Bram."

"Terus gimana lagi? Gue bingung sama teka-teki nggak jelas kayak gini. Gue mohon bantu gue kali ini."

Kartika yang ingin beranjak pun urung. Aku memohon sungguh-sungguh kepadanya agar ia membantuku. Mau bagaimana lagi? Tak ada yang lebih mengerti ini selain dirinya. Lagipula Kartika satu-satunya teman 'berbeda' yang kupunya.

Kuceritakan peristiwa aneh dan mimpi burukku kepadanya. Sejenak Kartika terdiam, mungkin ia sedang mencerna semua ceritaku. Sementara menunggu, kusempatkan menyeruput kopi di atas meja.

"Gimana, Tika?" tanyaku dengan rasa penasaran yang tak mampu kubendung lagi.

"Pokoknya lo harus waspada, Bram!" jawabnya penuh penekanan.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang