04. Perempuan yang Dikurung

356 29 0
                                    

SMAN 2 Armada adalah tempatku menempuh pendidikan. Aku sudah bersekolah di sini sejak tahun 2015 lalu. Tidak terasa hampir tiga tahun aku mengenyam pendidikan di SMA ini. Menjalani semester satu selama kelas 12 memang tidak mudah. Hari-hari semakin berat dengan tugas yang menumpuk. Tidak dapat kubayangkan jika memasuki semester dua nanti. Tidak ada waktu lagi untuk bermain-main, segala hal akan difokuskan ke ujian nasional.

"Bram, kita duluan ke kantin, ya!"

"Curang banget lo, Dam! Awas lo ya!"

Pagi itu kami diberi tugas merangkum pada pelajaran Bahasa Indonesia. Guru yang mengajar saat itu adalah Pak Anjar. Dia guru terbaik dipelajaran ini. Ia menggunakan metode mengajar yang unik sehingga kami tidak pernah jenuh dengan pelajaran yang ia ajarkan. Pak Anjar termasuk guru favoritku.

"Semua sudah mengumpulkan?!" tanya Pak Anjar kepada beberapa murid lain yang tersisa. Di kelas hanya ada aku, Mely, Riska, dan Jaka.

"Kita bertiga udah selesai, Pak!" ucap Jaka mewakili Mely dan Riska.

"Kamu, Bram? Sudah selesai?"

"Eh ... anu ... belum, Pak." jawabku sambil menulis dengan terburu-buru.

"Mely, Riska, sama Jaka, tugas kalian kumpulin ke Bram aja. Karena cuma dia yang terakhir belum mengumpulkan tugasnya."

Aku jadi tidak setuju dengan gagasan Pak Anjar. Otomatis aku memprotesnya, "Tapi, Pak! Harusnya Bapak tetap tunggu saya di sini. Biar sekalian sama Bapak aja tugas-tugas ini."

"Heee ... tidak boleh begitu. Ini amanah, lho. Kamu tinggal antarkan saja ke kantor. Bukannya kamu tahu meja Bapak di sebelah mana?"

"Deket mejanya Bu Sumarni, kan?"

"Nah, itu dia!" Perubahan sikap Pak Anjar terlihat jelas saat aku menyebutkan nama Bu Sumarni. Tanpa sadar aku pun menebak-nebak apa yang sedang Pak Anjar sembunyikan.

"Kok Bapak senyum-senyum begitu? Bapak lagi PDKT sama Bu Sumarni, ya?"

Pak Anjar jadi salah tingkah. Jelas sekali kuperhatikan wajahnya tiba-tiba merah padam. "Heh ... ngomong apa kamu? Cepat selesaikan rangkumannya. Bapak tunggu di kantor!"

Aku memundurkan sedikit tubuhku setelah Pak Anjar bicara begitu. Kutundukkan tubuhku sedikit. Begitu Pak Anjar pergi, Jaka langsung meledekku. "Mampus, lho! Ntar nilainya dikurangin!"

"Untung gue nggak ikut-ikutan ngomong, haha!" ucap Mely.

"Hayoloh, Bram! Udah, yuk, cabut ke kantin sekarang! Gue laper!"

Karena mereka menakut-nakutiku dengan perkataan begitu, aku jadi khawatir kalau Pak Anjar benar-benar akan mengurangi nilaiku.

"Huh, mampus deh gue kali ini. Kenapa gue ngomong kek begitu coba?"

Perutku mulai keroncongan. Harusnya aku pergi ke kantin juga sekarang bersama Damar dan sahabatku yang lain. Ah, pasti mereka sedang menikmati masakan enak buatan Mpok Ati di kantin sana. Duh, membayangkan makanan seperti ini, perutku jadi semakin lapar. Dengan segera, aku melanjutkan merangkum tugas ini lagi.

BAB 23: Luka yang Kupendam

Sepanjang hari aku memendam luka di tempat ini. Segala upaya kulakukan agar kalian melihat keberadaanku. Kalian terus berprasangka kalau aku ini jahat. Kalian bilang aku korban bunuh diri, padahal kejadian sebenarnya tidak seperti itu! Selama ini aku disembunyikan di dalam lemari hingga kusadari aku tak lagi bernapas. Hidupku hancur karena ulah laki-laki sialan itu!

BAB 24: Kebebasan

Keluarkan aku dari lemari ini! Keluarkan aku! Aku tidak ingin terus terkunci di sini! Aku bersumpah, aku bukan makhluk pengganggu! Aku hanya minta dibebaskan! Menebus dendamku kepada kumpulan laki-laki jahanam itu!

Tolong bantu aku mengungkapkan kejadian sebenarnya. Aku mohon, siapapun!

"Kok isi rangkumanku berubah begini? Bukannya tadi aku nulis rangkuman novel Laskar Pelangi, ya?"

Aku baru sadar sesuatu yang ganjil tersebut. Ternyata sejak tadi tanganku diarahkan untuk menulis dua bab rangkuman berbeda dari novel Laskar Pelangi ini. Kuletakkan pulpenku, menutup buku itu dan menjauhkan diri darinya. Dan hal yang mengerikan pun terjadi...

Buku tulisku terbuka sendiri dan pulpen itu menuliskan sesuatu:

BAB 25: Identitas Diri dan Penyebab Aku Mati

Namaku Rohayati, umurku 17 tahun. Aku meninggal karena kehabisan napas begitu dikunci di lemari ini. Tiga laki-laki bejat itu yang membunuh aku di sini. Sampai sekarang aku masih ingat nama mereka.

Mereka adalah Nandan, Arif, dan Surya. Tiga laki-laki jahanam itu yang mengunciku di sini! Mereka berlindung dengan seorang dukun di Desa Kembang! Lemari ini telah dimantrai dengan tali tambang gaib. Aku hanya ingin dibebaskan! Aku tidak terima terus dikurung di sini! Harusnya mereka menerima hukuman karena ketiganya telah melecehkanku!

Kumohon, tolong aku!

Napasku berat dan kepalaku terasa pusing. Begitu membaca tulisan itu muncul visual berupa seorang perempuan bernama Rohayati. Wanita itu sopan dan taat agama. Namun sayangnya, dia dilecehkan oleh tiga orang laki-laki bernama Nandan, Arif, dan juga Surya.

Tubuhku kaku dan mati rasa. Aku ingin segera menyelesaikan tugas itu dan mengumpulkannya ke Pak Anjar, namun kaki ini tidak bisa kugerakkan. Aku terjebak di kelas ini. Pintu kelas tiba-tiba tertutup dan lemari yang berada di belakangku bergerak-gerak.

"Tolong! Tolong!"

Jelas sekali terdengar suara Rohayati masih terjebak di sana memohon pertolongan. Visual yang muncul di otakku bermain. Aku melihat jelas pembunuhan itu! Pembunuhan yang sudah direncanakan! Rohayati ditusuk perutnya berkali-kali!

Aku tak kuasa menyaksikannya. Penglihatanku jadi berkunang-kunang. Secara samar kudengar bel istirahat berbunyi. Akankah ada seseorang yang menyadari aku terjebak di sini bersama Rohayati?

Kesadaranku mulai tumbang. Aku mungkin akan pingsan di sini.

"Diem lo p*l*cur!"

"Kak, tolong lepasin aku! Mama sama Papa udah nungguin di luar sana! Aku pengen pulang, Kak!"

"Bacot anj*ng!"

Itu pasti Surya. Ya, Surya! Pemuda itu mulai melepaskan pakaian pramuka dan celana panjang miliknya. Sementara itu Rohayati hanya bisa menangis kesakitan, memohon kepada ketiganya menghentikan aksi pelecehan tersebut.

"Nggak! Ini cuma halusinasi gue! Ini halu...."

Aku tak mampu berkata-kata lagi...

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang