"Gimana ini, Bram?"
Mendadak aku kehabisan akal. Bagaimana bisa warga desa memperlakukan tamu dari kota seperti ini. Tidak ada yang mau bicara kepada kami.
"Udah, mending kita shalat dulu," ucapku.
Matahari telah terbenam dari arah barat. Kuputuskan mengajak sahabat-sahabatku untuk shalat dahulu di masjid Desa Kembang. Kebetulan letak masjid tersebut tidak begitu jauh dari perkampungan. Warga yang mengabaikan kami satu persatu keluar dari rumah dan tetap bersikap acuh tak acuh. Mobil dinyalakan Damar dan dijalankan searah dengan warga kampung.
Pikiranku terasa ringan seusai shalat. Aku pun mulai bersalam-salaman kepada rombongan warga yang beribadah meski tatapan mereka tidak ramah. Aku mengenal seorang Imam yang menuntunku pulang sewaktu kecil. Sepertinya kami ditakdirkan bertemu lagi di kampung ini.
"Hei ... apa kabar, Bram?" tanya Imam Alif dengan ramah.
"Kabar saya baik, Imam," jawabku tersenyum lebar.
"Kamu datang sendiri ke sini?"
"Enggak, Imam. Itu ... saya bawa temen-temen juga." Aku menunjuk semua sahabatku yang masih terkumpul dalam masjid.
"Nggak mau mampir ke rumah saya dulu?" tawar Imam Alif.
Kuanggukan kepalaku mantap. Bersama-sama kami menuju rumah Imam Alif yang terbuat dari kayu dengan cat warna hijau serta lampu corong di dinding.
"Silakan masuk."
Masing-masing melepaskan alas kaki dan berkumpul dengan penerangan seadanya. Imam Alif mengatakan sebenarnya listrik sudah mulai masuk ke Desa Kembang, hanya saja terjadwal pada waktu tertentu. Seperti yang Imam katakan, lampu akan segera hidup pada pukul enam petang.
"Maaf ya kalau penerangan kami dari lilin dan lampu corong saja." Ibu Rosita---istri Imam Alif meletakkan beberapa lilin di lantai kayu.
"Nggak apa-apa, Bu."
Aku yang memimpin obrolan hari ini. Kusampaikan maksud dan tujuanku pergi ke desa ini. Aku juga mengeluhkan sikap warga desa yang tidak ramah kepada pendatang.
"Oh, begitu, ya. Maklumi saja, Nak. Warga sini memang sering bersikap salah paham dengan kunjungan anak-anak muda ke desa ini."
"Salah paham gimana? Kita juga ga ada niat macam-macam ke desa ini. Bener, kan?" celetuk Damar.
"Iya, bener!" ucap Rafa membenarkan.
"Iya, saya tahu. Tapi memang sudah dari dulu seperti itu. Awalnya mereka berprasangka buruk dahulu, tapi nanti bersikap ramah juga, kok," kata Imam Alif.
"Biar saya jelaskan kenapa warga desa sering bersikap tidak ramah kepada pendatang."
Kami pun mendesak Imam Alif untuk menjelaskan kenapa warga desa tidak bersikap ramah. Dulunya ada segerombolan mahasiswa/i KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang tujuannya menyeleweng. Mereka mengaku akan mengerjakan proker KKN mereka di desa ini, tetapi malah sebaliknya. Mereka membawa banyak alkohol serta berbuat mesum. Anak-anak muda itu telah mencoreng Desa Kembang yang selama ini dipandang sebagai desa ramah penduduk.
Selain terkenal ramah penduduk, Desa Kembang juga kental dengan kemistisannya. Hanya segelintir makhluk saja yang negatif, selebihnya menjaga keseimbangan alam antar manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Kematian Ayah [TAMAT]
TerrorKehilangan seorang ayah menjadi hal terberat bagi sosok Brahmana Putra. Rasa trauma yang memupuk membuat Bram kehilangan kendali atas dirinya. Karena hidup tidak mungkin terus begini, Bram memperoleh dukungan dan kekuatan dari sahabat-sahabatnya. Wa...