17. Kedatangan Sekte Merah

226 15 0
                                    

Kupencet bel rumah, berharap pintu segera dibuka karena aku sudah tak tahan dengan udara dingin di luar sini.

"Dari mana aja kamu baru pulang jam segini?" tanya Ibu sambil memandangi arloji yang melingkar di tangan.

"Ada tugas kelompok, Bu."

Ibu memandangi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Buru-buru aku melangkah masuk. Ketika posisiku sudah membelakangi Ibu, tiba-tiba dengan kasarnya ia mencengkeram tas punggungku.

Mataku memejam dan mulutku merapal. Kurasa jantungku akan segera meletup. Apakah riwayatku akan berakhir disini?

"Bener abis tugas kelompok?"

"B-bener, Bu!"

Ibu mendengkus kasar, mengunci pintu dan kembali ke kamar. Perasaanku terasa ringan ketika Ibu berhenti menanyaiku.

"Hampir aja," gumamku.

Aku baru sadar sepanjang hari ini aku tidak mandi. Bau tidak sedap menguasai tubuhku. Walau mandi tengah malam tidak lazim, aku terpaksa melakukannya. Aku tidak mungkin langsung tidur tanpa mandi dahulu.

Kuhidupkan pancuran mandi. Sensasi hangat mengalir ke seluruh tubuh. Dingin yang tadinya menusuk melebur seketika saat kulitku bersentuhan dengan air hangat. Dengan lembut aku mengusap tubuhku dengan busa sabun.

"Enak ya mandinya?"

Perasaanku berubah dratis. Kupandangi sudut kamar mandi melalui cermin, tampak sosok Kuntilanak mengintip dengan senyum jahat. Entah sudah berapa lama dia membuntutiku ke kamar mandi.

"D-dari kapan kamu di situ?!" ucapku gemetar.

"Sebelum abang datang aku udah di sini kok. Hihihihihi....!"

Cepat-cepat kubersihkan tubuhku dari sabun, mengelapnya dengan handuk kemudian beranjak dari kamar mandi. Kusandarkan tubuhku dekat pintu, mengatur napasku agar kembali normal. Dengan mulut komat-kamit kulangkahi tangga dan mengunci kamar.

"Kuntilanak sialan!" umpatku.

Kubuka lemari dan memilih salah satu pakaian tidur. Kukenakan pakaian itu dan bercermin menyisir rambut. Aku jadi terpikir satu hal yang menggangguku saat perjalanan pulang. Sosok pria yang berdiri di antara hutan rimbun. Dia mirip sekali dengan Ayahku.

"Apa itu benar-benar Ayah, ya?"

Mataku mencetak suatu objek sedang berdiri di sudut kamar. Dia tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri bersama kegelapan yang menelannya. Dia mengenakan jubah merah.

"Kamu panggil Ayah, Nak?"

Suaranya identik sekali dengan Ayahku. Tidak salah lagi, memang dia!

"Ayah? Kamu bener-bener Ayahku, 'kan," tanyaku yang masih tidak percaya.

Lantas air mataku bertumpah ruah sebab perasaan rinduku yang mendalam. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku pun memeluknya. Aku semakin yakin kalau dia masih hidup. Buktinya aku bisa menyentuhnya.

Namun, ada yang berbeda darinya...

"Aku memang Ayahmu, Nak," katanya.

Wajahnya memang mirip Ayah, namun kutemukan kejanggalan dari bola matanya. Warna matanya hitam pekat, aroma tubuhnya anyir darah. Dengan terburu-buru aku melepaskan dekapan, kudapati tanganku melepuh seperti sehabis bersentuhan dengan benda panas.

"Arrrgh ... panas!"

Jubah yang dikenakannya sobek. Tubuhnya berangsur-angsur membesar setinggi plafon kamar. Bahunya melebar dan punggungnya memunculkan kobaran api. Kepalanya menumbuhkan tanduk seperti Baphomet. Seringainya membuatku tak berdaya. Aku jatuh terduduk dengan menengadah, tak berhenti memandangi betapa besar tubuhnya. Dia seperti raksasa.

"K-kamu ... s ... siapa?!" Mulutku yang mengatup rapat kupaksakan bicara, walau sekujur tubuh gemetar menghadapi sosok mirip Iblis di depanku ini.

Aku beringsut mundur ketika si Iblis mendekat. Kupalingkan wajahku ke kanan, mengatur napasku yang terengah-engah karena takut. Mungkinkah ini sosok yang dilihat Syafira? Aku berpikir mungkin Iblis ini bisa menyerupai siapa saja, salah satunya sosok hitam. Atau dia bisa mewujudkan sosok yang kami takuti?

"Aku diutus untuk menjengukmu ke sini. Aku hanya menyerupainya untuk memancingmu supaya kau menyadari betapa banyak pasukan kami di luar sana."

"M-maksudnya?" Keringatku mengucur deras. Hawa panas yang membakar ruangan menimbulkan gerah. Ingin sekali kutanggalkan bajuku sekarang.

Cepat-cepat kubuka jendelaku yang terhalang tirai. Gerombolan manusia berpakaian serba merah tengah berdiri di depan rumah. Saat aku menoleh, sosok mirip Baphomet itu menghilang dari pandanganku.

"Ke mana dia?" gumamku.

Suhu kamar masih panas. Pendingin ruangan tampaknya tidak mampu meredamkan hawa panas yang membakar ini. Aku keluar dan mendapati Adikku berdiri dekat pintu rumah.

"Dek? Kamu ngapain di situ?!"

Tidak pernah terjadi lagi sebelumnya. Adikku tiba-tiba tidur berjalan seperti dulu. Syafira menciptakan bunyi antukan kepala pada pintu rumah.

"Dek, balik ke kamar, yuk?"

Kutahan keningnya agar tidak benjol. Dengan mata terpejam, Syafira menunjuk-nunjuk ke arah luar. Kuperhatikan gerombolan manusia itu dengan mulut komat-kamit. Biji-bijian aneh yang mereka genggam dihambur-hamburkan di depan rumah.

Wushhh

Angin kuat menerobos tubuhku hingga terkapar. Perabotan rumah jadi berantakan karena angin misterius ini. Lampu gantung berkedap-kedip dan mengayun. Energi jahat yang pekat terdeteksi mata batinku. Pintu rumah yang setahuku sudah terkunci membuka paksa, menyeret Syafira yang masih tidur berjalan untuk keluar. Buru-buru aku bangkit mencegah Syafira agar tidak masuk perangkap sekte itu.

"Pergi kalian dari sini! Pergi!"

Kulindungi Syafira dengan membelakanginya. Aku tidak hanya harus bertahan dengan hantaman angin, tetapi juga melawan kelompok sekte yang sengaja memporak-porandakan rumah untuk menyeret Adikku agar bergabung bersama mereka.

Mulut mereka berhenti merapal. Sorot mata mereka yang kosong membuat bulu kuduk berdiri. Seiring dengan berhentinya mereka mengucapkan mantra-mantra aneh, angin kuat yang menghantamku pun pergi.

"Dia akan mati!"
"Dia akan mati!"
"Dia akan mati!"

Jari telunjuk diangkat bersamaan. Mereka menunjuk-nunjuk Syafira dan mengatakan kalau sebentar lagi Adikku akan mati. Kutinggalkan kelompok sekte yang hanya bicara omong kosong itu, mengembalikan Adikku ke kamarnya.

Kuperiksa bagian luar, memastikan kelompok sekte itu telah meninggalkan rumah. Dan benar saja, mereka sudah pergi dari rumahku. Perasaanku sedikit lega, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana nanti kalau Ibu tiba-tiba terbangun dan mendapati ruangan berantakan. Spontan aku menepuk jidat, berpikir keras untuk menyelesaikan masalah ini agar Ibu tidak menduga yang macam-macam.

Tetapi anehnya...

Saat kembali ke dalam, ruangan berubah rapi seperti semula. Aku bersumpah kalau tadi rumah berantakan seperti kapal pecah saat kedatangan kelompok sekte itu.

"Ah, perasaan tadi ... eummm ... arrggh! Bodo amat." Kutinggalkan ruang tengah, mengunci pintu kamar dan segera tidur.

Aku berpikir kalau yang mereka bilang tadi hanya omong kosong saja. Memangnya untuk apa mereka menjemput Syafira? Apa untungnya bagi mereka?

Kenapa teror-teror ini berdatangan semenjak aku berencana membebaskan Rohayati? Apa korelasinya Rohayati dengan kelompok sekte itu? Mengapa aku harus berurusan dengan mereka juga? Ah, semakin banyak pertanyaan-pertanyaan aneh membeludak kepalaku. Kuharap setelah aku berhasil membebaskan Rohayati nantinya, keluargaku tetap baik-baik saja.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang