03. Kedatangan Kakek

375 36 2
                                    

"Kamu sudah siap, Cu?" kata Kakek.

Tidak salah lagi, ini memang almarhum Kakek. Aku bertemu dengannya tepat di umur 18 tahun. Untuk kesekian kalinya ia menyentuh keningku seperti beberapa tahun yang lalu. Aku memilih diam tanpa memperhatikan sosoknya. Mataku terpejam, ada sensasi luar biasa nyaman mengalir di dalam batinku. Rasanya aneh, tidak pernah kurasakan kenyamanan seperti itu pada fisik dan jiwaku sebelumnya.

Aku memutuskan bangun pada malam itu, mengambil air putih di dapur karena aku merasa haus. Dengan pelan kulangkahi anak tangga satu persatu. Kutuangkan segelas air putih lalu meminumnya. Tetapi, ada hal ganjil terjadi di sana. Entah dari mana asalnya tiba-tiba ada seorang perempuan lewat seenaknya di belakangku. Dia pikir aku tidak menyadari keberadaannya di sana.

"Hei! S ... siapa k ... kamu?!!" Mataku membelalak kaget hingga tersedak air minum.

Kok bisa-bisanya ada manusia yang melangkahi dapurku, padahal jelas-jelas pintu belakang ini terkunci.

"Kamu bisa lihat saya?" Perempuan itu bertanya kepadaku dan menunjuk dirinya.

"Saya kan punya mata, Mbak. Sudah jelas saya bisa lihat!"

"Saya pikir cuma perempuan pembantu itu yang bisa lihat saya. Ah, sudahlah."

Dia berbicara dengan berbisik, namun aku bisa mendengarkan. Setelahnya, ia pergi menerobos jendela dapur.

Aku terperenyak heran dengan pemandangan yang baru saja aku lihat. "Apa sebenarnya itu??"

Aku mulai ketakutan, cepat-cepat aku meninggalkan dapur. Aku sudah lupa untuk memelankan langkahku menaiki anak tangga agar sahabat-sahabatku tidak terbangun. Aku pastikan pemandangan tadi hanya halusinasiku saja.

Jam tua itu berdentang lagi. Jarumnya menunjuk ke pukul satu dini hari. Tetapi tiba-tiba saja....

"Apalagi i ... itu??"

Ada manusia lain yang melintas selain perempuan di dapur tadi. Dia adalah seorang laki-laki. Aku terkejut sekali saat menyadari luka di bagian keningnya.

"Mas, itu kenapa luka?"

"Oh, ini. Waktu itu saya kecelakaan dan kepala saya membentur pohon beringin di seberang rumah kamu," jawabnya.

"Terus, Mas ngapain di kamar saya? Kenapa nggak pergi berobat sekarang?"

"Ini juga mau pergi, Nak."

Alangkah terkejutnya lagi, sosok laki-laki itu malah dengan lancangnya menginjak tubuh kedua sahabatku, Damar dan Rafael.

"Eh, Mas, nggak sopan! Keluarnya jangan lewat situ, pintu depan sana, Mas!" Laki-laki itu tidak menggubrisku, tubuhnya sudah menghilang saat menerobos jendela kamarku.

"Ya Tuhan, aku kenapa, sih?!!" Aku jadi gelisah sendiri, kuputuskan untuk benar-benar tidur kali ini. Semoga yang aku lihat malam ini benar-benar halusinasiku.

~

Entah bagaimana caranya aku bisa tidur nyenyak, padahal pemandangan tidak lazim tadi malam masih membekas di otakku. Aku tidak bisa lupakan sosok laki-laki yang melintas di kamarku dan sosok perempuan yang berdiri di dapur.

Tidak ada yang membangunkan kami pagi itu, bahkan Ibu sendiri masih tidur. Hanya aku yang paling pertama bangun. Aku mengecek kalendar, beruntungnya hari ini adalah tanggal merah. Libur ini bertepatan dengan Hari Raya Nyepi.

"Damar, Rafael, bangun!" Aku mengguncang-guncangkan tubuh mereka. Ternyata soal tidur, Damar dan Rafael lebih malas untuk bangun. Malasnya melebihi Ladya.

"Udah, jangan rebahan mulu! Nggak sekolah lo pada?" tanyaku.

"Emang ini udah jam berapa, Bram?" Tiba-tiba saja Damar meresponku.

"Jam tujuh lewat sepuluh."

"HA?!!"

Damar mengucek-ngucek matanya, ia tidak tahu kalau aku sedang membohonginya.

"Ngapain repot-repot bangun? Ini tanggal merah, Dam! Hahaha...." Aku tertawa puas melihat tingkah Damar, dan lagi-lagi ia mengeluarkan jurus andalannya untuk menoyor kepalaku namun sempat kutepis aksinya.

"Eitt ... mending lo toyorin kepalanya Rafa aja sekalian. Kaum rebahan sejati cuma dia," usulku.

"Bener juga."

Aku dan Damar bekerja sama mengganggu tidur nyenyak Rafa. Pada akhirnya ia bangun dengan wajah kesal. Kami berdua kabur dengan kompak ke ruang tengah setelah Rafa terbangun.

"Aduh, masih pagi, Bram. Udah ribut-ribut begini," keluh Ibu yang terbangun karena aku dan Damar berlari-lari di ruang tengah menghindari Rafael.

"Maaf, Ma, hehe...."

"Emang kayak anak kecil dia, Ma," kata Syafira menimpali. Adikku ini memang menyebalkan, namun tetap saja aku menyayanginya

"Kalian nggak sekolah?" tanya Ibu saat kami semua sudah bangun.

"Tanggal merah, Ma," jawabku.

"Oh ya, kantor Mama juga libur dong kalo begini."

Pagi itu, kami semua menuju ruang makan. Bi Minah---asisten rumah tangga kami tampak terburu-buru. Walau begitu, ia masih sempat menyiapkan sarapan untuk kami.

"Kenapa buru-buru, Bi?" Tidak hanya aku yang menduganya begitu, Ibu juga begitu. Dia terburu-buru seperti dikejar setan.

"Anu ... eummm ... mumpung hari ini cuti, saya mau pulang kampung dulu, Bu. Eummm ... itu ... anu ... Bapak saya di kampung sakit parah," jawab Bu Minah terbata-bata. Dia terlihat seperti kehilangan akal dan ketakutan akan sesuatu.

Sesekali matanya menatap sekeliling rumah, setelah itu memandang ke arah kami semua. Ini pertama kalinya aku melihat Bu Minah bersikap aneh. Entah sesuatu seperti apa yang membuatnya jadi aneh begitu.

"Mau saya bantu, Bi?" Ibu menawarkan bantuan kepada Bi Minah yang terlihat sibuk dengan beberapa barang dan pakaian dikopernya.

"Ngga usah, Bu," jawab Bu Minah menolak.

Saat Bi Minah hendak pergi meninggalkan kami, langkahnya tiba-tiba terhenti. Ada sesuatu yang menghalanginya untuk keluar. Wajah Bi Minah berubah pucat, kakinya seolah tidak bisa digerakkan dari tempatnya berdiri.

"Kamu lagi!!" Aku setengah berteriak hingga sahabat dan keluargaku terkejut melihat sikapku yang aneh melebihi dirinya. Aku melihat perempuan aneh itu kembali seperti tadi malam.

"Kamu kenapa, Bram?" tanya Damar menepuk bahuku.

Bi Minah juga terkejut, entah mengapa ada koneksi batin antara aku dengannya. Aku bisa membaca apa yang dia pikirkan.

"Kamu bisa lihat apa yang Bibi lihat, Den?"

"Iya, Bi."

Bi Minah tidak menghiraukan perempuan yang menghalanginya keluar. Bibi berlari menerobos tubuh perempuan itu.

"Kok bisa tembus, sih?!"

"Apanya yang tembus, Kak Bram?" tanya Syafira dan aku tidak menggubrisnya.

"Bi!" Aku terlambat, Bi Minah sudah berlari sampai luar.

"Dasar anak nakal! Cih!" Perempuan pengganggu itu hilang begitu saja dari penglihatanku. Pagi itu, Ibu dan Adik serta sahabatku tidak punya kata-kata untuk dilontarkan. Aneh, suasana berubah canggung.

"Eummm ... Bram, kita pergi dulu, ya. Ayah sama Ibu mungkin udah nungguin kami di rumah," ucap Damar memecah keheningan, yang lain menganggukan kepala.

"Oh, iya. Hati-hati kalian!"

Aku melihat punggung mereka dari jauh. Mereka meninggalkanku pagi itu. Pemandangan tidak lazim itu sulit kupercaya. Halusinasiku jadi liar, mengaburkan batasan antara nyata dan tidak.

"Sebenarnya aku kenapaaa??!!!!"

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang