10. Tusuk Konde Pembawa Petaka

259 21 2
                                    

Waktu tepat menunjukkan pukul 15.15, begitu bel pulang berbunyi Pak Anwar mengakhiri pelajaran Fisika hari ini.

"Baiklah, sampai jumpa minggu depan. Selamat sore anak-anak!"

"Selamat sore, Pak!"

Aku berjalan keluar dengan kepala tertunduk, rasa mualku terhadap makanan itu belum pergi juga. Aku tidak ingin perasaan jijik ini berdampak pada selera makanku. Ah, lupakan!

"Bram, kenapa?" Damar menyentuh pundakku, lantas kuangkat kepalaku.

"Enggak apa-apa." Kugelengkan kepalaku, kemudian Damar menuruni anak tangga bersama yang lain. Tanpa kusadari ada seseorang yang tiba-tiba saja menyikut lenganku.

"Astaga, kaget gue!"

Ternyata itu Kartika. Aku berubah paranoid setelah menyadari kemampuan ini. Aku pikir yang sedang menyikutku adalah setan. Pikiranku sudah melantur ke mana-mana karena parnoku yang berlebihan.

"Lo kenapa? Keknya ketakutan banget?"

"Nggak kok, nggak."

Kartika sampai lebih dulu di bawah, kemudian ia melambaikan tangan ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya dan tersenyum. Aku jadi lega, perilakunya jauh lebih hangat daripada sebelumnya. Dia tidak semisterius itu. Kebetulan saja ia mau membuka diri denganku. Entah kenapa aku merasa sudah bertemu dengan Kartika bertahun-tahun lamanya. Mengenalnya seperti bertemu sahabat lamaku, padahal kami baru berkenalan beberapa jam yang lalu.

Aku berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan ke mobil taksi yang lewat. Ibu tidak lagi menjemputku seperti biasa karena tugas kantornya semakin padat. Aku memaklumi hal itu, jadi kemungkinan setiap harinya aku akan pergi sekolah dengan taksi.

Kusandarkan kepalaku ke kaca mobil dan mulai merenungkan sesuatu. Hatiku tergerak untuk menyingkirkan pocong-pocong penutup rezeki itu. Namun, aku tidak punya keberanian. Aku menyadari diriku yang pengecut akan hal itu. Aku belum terbiasa, jadi tidak bisa kuapakan makhluk-makhluk itu.

Aku pikir hanya aku penumpang taksi di sini. Bangku kosong di sebelahku ada yang mengisi. Aku masih bersikeras meyakinkan diri bahwa ini hanyalah halusinasi, tetapi sekali hantu tetaplah hantu. Yang duduk di sebelahku sekarang adalah hantu.

Aku berdehem, mencoba abai dengan fokus melihat ke depan. Aku harus sabar, sebentar lagi sampai. Hantu perempuan berwajah koreng itu berusaha mencari perhatianku agar aku menyadari kehadirannya. Aku tidak sanggup melihat keadaannya lantaran kulit kepalanya terkelupas karena caranya menggosok terlalu kuat.

Degh!

Tanganku gemetar, kulepaskan tas punggungku dan memeluknya erat. Kuharap aku tidak berakhir di sini, tak sanggup kupalingkan wajahku karena lirikan matanya seperti ingin menerkamku. Ya, aku memang sempat curi pandang dengan memutarkan ekor mataku. Deruan napasku menimbulkan kecurigaan sang supir yang sejak tadi terlihat acuh tak acuh.

"Mas, ada apa, Mas?"

Aku tidak menjawab, sekarang pelipisku sudah banjir keringat. Ingin rasanya cepat-cepat keluar dari sini. Perempuan buruk rupa itu kini berpindah posisi. Ya, kami sedang bertatap muka sekarang! Darah mengucur dari bola matanya, kemudian ia memuntahkan kelabang menjijikan tepat di pahaku.

"Tolong saya," ucapnya lirih.

Aku tidak kuasa menahan rasa takutku lagi. Jeritanku yang tertahan mungkin akan kuledakkan di sini.

"Aaaaaaaaaa!!!!!!!"

Sang supir mengerem mendadak, kepalaku jadi terantuk kursi si supir. Untung saja aku terlindungi sabuk pengaman ini.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang