06. Tragedi Wahana Bianglala

440 27 2
                                    

Karena tidak ingin ketinggalan pelajaran, kuputuskan siang itu menulis catatan yang Ladya kirim. Aku merasa hidupku seperti tidak berguna kalau hanya bermalas-malasan di tempat tidur saja. Aku sudah terbiasa melakukan semua di siang hari agar pada malam harinya aku bisa santai tanpa memikirkan tugas lagi.

Sejenak tidak ada yang aneh dan terlihat baik-baik saja, sampai akhirnya aku menyadari ada sebuah pintu aneh yang terlihat permanen pada dinding kamarku.

"Sejak kapan itu ada di sini?"

Pintu itu berbeda dengan pintu kamarku yang elegan. Pintu pada dinding ini terlihat tua dan kuno. Aku jadi penasaran seperti apa isi dibalik pintu itu. Tanpa berpikir panjang, aku membuka pintu tersebut.

Sangat menyeramkan! Aku pikir pintu ini terhubung dengan pemandangan belakang rumahku. Nyatanya tidak. Tempat itu terdapat pohon tinggi menjulang, di sana ada banyak manusia yang bersandar dibalik pohon dengan keadaan terikat.

"Tolong kami! Tolong kami!"

Suara rintihan mereka terdengar memilukan. Ada banyak lagi di belakang sana yang tubuhnya terikat dengan tali tambang. Aku tidak mau mengambil risiko, jadi kuputuskan menutup pintu itu seperti semula. Aku takut terjadi kekacauan apabila memasuki wilayah mereka.

Aku masih tidak mengerti. Apa yang menyebabkan mereka diikat begitu? Tempat apa itu sebenarnya? Bahkan seumur hidupku aku belum pernah lihat tempat seperti itu. Apa mungkin sudah pernah atau akunya saja yang lupa?

~

Hari telah berganti ke malam hari. Malam ini aku bersiap-siap pergi bersama sahabat-sahabatku mengunjungi pasar malam.

"Kak, tunggu aku!!"

"Heee ... padahal aku nggak ngajak kamu."

Syafira menekuk bibir ke bawah. "Kakak kok tega sama aku?!"

"Bercanda, ah. Yuk, berangkat!"

"Hati-hati, ya." Aku dan Syafira menyalami Ibu dan berangkat bersama sahabat-sahabatku dengan mobil milik Rafael.

"Lo yakin bakal baik-baik aja, Bram?" tanya Linda.

"Udah, nggak papa."

Adikku yang sejak tadi tidak tahu apa-apa lantas bertanya, "Emang tadi Kakak kenapa?"

"Itu...." Belum sempat kujawab, Damar mengambil kesempatan menjawab pertanyaan itu.

"Tadi Bram berubah aneh banget. Kayak bukan dia. Terus dia pingsan dua kali di sekolah."

"Ha?? Bener, Kak?" tanya Syafira

"Eummm...." Aku tidak punya jawaban untuknya. Aku pasrah, kuserahkan kepada mereka untuk menjelaskan.

"Iya, Fira. Aku baru pertama kali liat Bram sepucat itu. Nggak biasanya, loh," ujar Ladya.

"Tadi pingsan dua kali, sekarang malemnya malah pergi jalan-jalan. Tangguh emang si Bram ini," ucap Damar bernada mengejek.

"Damar, keknya toyoran kepala udah nggak mempan deh buat lo. Sini gue gorok leher lo, sini!"

Nada bicaraku terlihat seperti orang marah, bukan? Namun sebenarnya aku tidak marah menanggapi lelucon Damar. Kami tetap bersikap seperti biasa, menjadi remaja 18 tahun yang suka bercanda.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang