23. Telusur Gaib

231 18 0
                                    

"Ya, Tuhan! Bram!" Linda menjerit kala aku dalam perjalanan sedang dipapah Damar dan Rafa. Aku tahu kondisi tubuh dan wajahku sekarang. Pastinya babak belur. Bagaimana tidak, puluhan kali aku dipukul, bahkan punggungku ditendang. Aku tidak dapat memberi perlawanan lebih karena dalam keadaan terikat. Aku harap Hartono segera terbuka kedoknya dan mendekam diri di penjara.

Sepanjang perjalanan aku mengaduh. Terantuk sedikit saja rasanya sakit. Saat bercermin, wajahku biru-biru. Bagaimana aku menjelaskan kepada Ibu nantinya? Kalau saja aku ikuti kata hatiku untuk pulang tanpa bertemu Kepala Sekolah berengsek itu. Aku masih saja tidak menyangka Kepala Sekolah sekejam itu. Membangun tradisi pembullyan serta persembahan jiwa ke Iblis. Bangunan sekolahku merekam banyak memori, termasuk di antaranya mengenai pembunuhan itu. Pembunuhan yang bertujuan menumbalkan. Sekolahku tampak bagus dari luarnya saja, begitu masuk ke dalam isinya buruk. Ada perasaan menyesal bersekolah di sini. Mau pindah sekolah namun sebentar lagi semester dua. Mau tidak mau aku harus bersikap tidak memperdulikan masa lalu sekolah ini.

Semua orang di rumah dibuat kerepotan. Dimulai dari Ibu yang bergantian memapahku ke tempat tidur dan Bi Minah mengambilkan kotak P3K. Adik dan sahabatku hanya bisa meratapi nasibku yang berakhir babak belur. Nahasnya Kepala Sekolah itu yang melakukannya.

"Aaah!! Pelan-pelan, Ma!"

"Biar cepat sembuh, Nak. Aduh, kenapa sampai babak belur begini, sih?!" ucap Ibu setengah mengomel.

"Kalian jagain Bram, ya! Ibu siapin makanan buat dia dulu," perintah Ibu. Anak-anak yang diperintahkan patuh dan mulai berkerumun ke arahku.

"Kenapa sampe begini coba, Kak?" ucap Syafira tidak kalah cemas dari Ibu.

"Udah, nggak apa-apa, kok."

Sementara menunggu Ibu, Kartika lebih dulu membuka obrolan. "Maaf, Bram, waktu itu gue nggak ngasih penjelasan soal mimpi lo di kafe."

"Udah, teka-teki tentang keluarga gue hampir sempurna. Dengan babak belur begini gue ketemu jawabannya," ujarku melempar senyum.

Ibu kembali membawakan sarapan bubur. Sarapan paling tidak aku sukai yang harus disantap sampai habis.

"Bu, aku kan nggak suka bubur," tolakku memasang muka masam.

"Udah, ini aja dulu. Besok pagi kamu nggak usah sekolah dulu, Ibu masakin sup hangat."

Mulut dibuka, suapan bubur kembali datang memenuhi lambung. Damar memutuskan mengajak mereka pulang, takut dicari orangtuanya.

"Kita pulang dulu, Tante. Besok kita bakal ke sini lagi, Bram! Cepet sembuh, ya!" kata Damar.

Dengan parau kubalas Damar dengan jawaban 'ya' hingga hanya terlihat punggung mereka. Rasanya sedih, andai mereka berlama-lama di sini aku pasti senang. Yah, lagipula besok masih sekolah. Aku tidak bisa apa-apa. Dan yang menjengkelkan adalah aku semakin ketinggalan pelajaran karena sakit bertubi-tubi ini.

"Ayo, dimakan."

"Huh."

Bubur kupaksa telan, menghabiskan malamku dengan santapan pahit. Sampai jumpa besok teman-teman!

~

Gelak tawa terdengar menggema di dalam kamar. Kekosongan yang hampa terisi oleh kehadiran sahabatku. Aku merasa beruntung luka-lukaku cepat pulih. Ibu hampir tidak tidur hanya untuk merawatku. Dia benar-benar sosok pahlawan yang luar biasa! Terima kasih, Ibu.

Awalnya obrolan kami terdengar serius. Satu persatu mendengar curahan hati Syafira yang dijauhi teman-temannya. Beberapa hari ini Syafira juga tidak sekolah sebab takut mencelakakan teman-temannya. Aku bersedih saat Adikku dibilang pembawa sial. Aku merasa marah dan ingin menghajar orang yang menjelek-jelekkan Adikku.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang