Pagiku tidak menyenangkan sama sekali. Kubuka mata perlahan, samar-samar kulihat wajah seseorang tertutup rambut. Makin kuperhatikan rambutnya kian memanjang hingga bersentuhan dengan wajahku. Kusingkirkan rambut itu dengan gemetar, menengadah ke langit-langit untuk melihat siapa pemilik rambut ini.
"Selamat pagi ... hihihihi!!"
Posisi tubuhnya merangkak namun terbalik, entah sejak kapan wanita berdaster putih itu merayap di langit-langit kamarku. Wajahnya nampak putih pucat disertai kerlingan mata mengerikan. Senyumnya seakan hendak menerkam. Tidak ada pilihan lain selain berteriak, sebab aku begitu terperanjat begitu menyadari betapa cantiknya dia ... eh, menyeramkannya dia!!
Dia si Kuntilanak!
Aku akan disangka dikejar setan lagi kali ini oleh Ibu, namun itu memang benar adanya! Setan-setan ini kian gencar menghampiriku yang tidak tahu apa-apa ini.
"Ma?"
Dengan perasaan tidak enak aku meminta Ibu mengantarku ke sekolah dengan mobilnya. Padahal saat itu Ibu sedang bentrok dengan pekerjaan kantornya karena ada rapat mendadak di sana.
"Kamu naik taksi aja, Bram. Mama buru-buru hari ini, ya?"
"Ta ... tapi, Ma..."
"Fira, temenin Kakak kamu, takutnya dia teriak-teriak lagi. Kayak abis ketemu apa aja, huh..."
Tampaknya Ibu sebal dengan perilaku anehku belakangan ini. Aku malah merepotkan seisi rumah, bahkan Syafira membatalkan janji untuk berangkat bersama teman sekolahnya.
Kupandangi kursi sebelahku, merasa awas kalau-kalau perempuan berwajah koreng itu datang kembali. Padahal jelas-jelas tidak mungkin sebab kursi itu sudah diisi oleh Adikku.
"Kak, kenapa sih?" tanya Syafira.
"Nggak apa-apa, kok," jawabku dengan kaku.
Aku ingin memberitahu peristiwa yang kualami kemarin kepadanya, tetapi aku tidak yakin Syafira akan mendengarkanku. Aku tidak mau disangka membual, padahal jelas-jelas aku melihat sosok itu dengan mata kepalaku sendiri. Tidak ada pilihan selain menyimpan masalah ini sendiri.
"Kak, kalau ada masalah, jangan ragu berbagi sama Adik sendiri ya, Kak. Hihi..," ucap Syafira tersenyum.
"Iya, Dek," ucapku membalas senyumannya.
Mobil taksi berhenti di depan SMA. Syafira tetap menunggu di mobil karena rute selanjutnya adalah SMP. Aku dan Adikku hanya terpaut dua tahun, dia berumur 16 tahun dan aku 18 tahun. Kebetulan pagi itu ada Kartika yang sedang melangkah di gerbang sekolah, jadi sekalian saja aku menyapanya.
"Hai!" sapaku dengan semangat.
Kartika hanya membalas sapaanku dengan tersenyum. Dari kejauhan aku melihat Damar, Rafael, Linda, dan Ladya sedang berjalan bersamaan. Keempat anak itu menghampiriku dan Damar menempatkan lengannya di pundakku sebagai rangkulan. Lalu, aku menanyakan kepada mereka kenapa semalam mereka tiba-tiba berlari meninggalkan gedung tari.
"Kemarin kita denger suara gamelan, terus suara cewek ketawa gitu," ungkap Damar berbisik-bisik.
"Serius?" tanyaku.
"Iya, serius! Semoga aja kerekam," celetuk Damar.
Kami berenam berpapasan dengan gedung tari tersebut. Terlihat sekali betapa terbengkalainya gedung itu. Sangat disayangkan ekskul tari ditiadakan, padahal ekskul itu berguna untuk melahirkan penari-penari terbaik dan akan meningkatkan kecintaan pesertanya terhadap tari-tari tradisional di Indonesia.
Ada yang berbeda dari Ladya pagi ini. Dia biasanya menguncir rambutnya dengan ikat rambut, tetapi hari ini ia menguncir rambutnya dengan tusuk konde emas itu. Apa mungkin itu barang yang Ladya rampas semalam?
KAMU SEDANG MEMBACA
Misteri Kematian Ayah [TAMAT]
HorrorKehilangan seorang ayah menjadi hal terberat bagi sosok Brahmana Putra. Rasa trauma yang memupuk membuat Bram kehilangan kendali atas dirinya. Karena hidup tidak mungkin terus begini, Bram memperoleh dukungan dan kekuatan dari sahabat-sahabatnya. Wa...