12. Pria Berjubah Merah

334 23 2
                                    

Aku terbangun di Sabtu sore. Tidurku nyenyak sekali kala itu. Kutengok dari kamar, Syafira tengah mengintip Ibu dari samping pintu.

"Dek, kamu ngapain?!" ucapku memekik.

"Ssssttt...."

Syafira menempatkan jari telunjuknya di depan bibir, menyuruhku untuk tidak berisik. Aku jadi penasaran kenapa Syafira jadi mengintip-intip kamar Ibu. Kupelankan langkahku kemudian ikut mengintip sepertinya. Terdengar isak tangis Ibu yang mengusik ketika tengah mendekap foto Ayah. Pilu dan menusuk hati.

"Aku rindu sekali sama kamu, Pak," ucap Ibu tersedu-tersedu.

Syafira berhenti mengintip lalu bersandar di dinding. Ia mencengkeram kuat dadanya sendiri. Air matanya mulai berjatuhan, lantas kugenggam tangannya dan mengajaknya ke teras rumah.

"Kamu nggak papa?" tanyaku.

Syafira bergeming kemudian menundukkan kepala. Wajahnya murung seperti Ibu. Mereka malah kembali berkabung seperti dahulu. Menangisi kepergian Ayah sebelas tahun yang lalu.

"Ini udah berlalu, Dek. Kita harus ikhlas! Lagipula ini udah sebelas tahun!"

"Ini berat buat aku, Kak!" Air mata Syafira kembali menggenang dan ia menyingkirkan tanganku dari pundaknya. Aku begitu karena mencoba menguatkannya.

"Kita semua ngerasain hal yang sama, Dek. Udah, jangan kayak gini, ya? Merasa kehilangan itu wajar, tapi kalau terus-terusan nggak baik juga."

Syafira menyeka air matanya, lalu aku mengusul kepadanya untuk menjenguk Ibu. Syafira menyetujui, setelah itu kami menuju kamar Ibu. Aku cukup menyaksikan dari ambang pintu, sementara Syafira masuk. Kemudian ia mengusap pundak Ibu dan memeluknya.

"Fira tau kok Mama sayang banget sama Papa."

Syafira berbicara lirih namun aku masih bisa mendengarnya. Pemandangan ini terlalu menyentuh perasaan hingga tak terasa air mataku ikut menggenang. Cepat-cepat kuhapus air mataku dan pergi ke kamar mandi. Kubiarkan saja Syafira bersama Ibu, kuharap ia mampu menguatkannya kembali.

"Kalau aja Ayah masih hidup, keluarga kita nggak akan menyedihkan begini," gumamku.

Kubasuh wajahku lalu menghadap cermin. Kepalaku terasa sakit ketika tragedi kecelakaan itu tiba-tiba muncul. Penglihatanku kali ini benar-benar baru. Aku menangkap sesuatu yang lain dari peristiwa itu. Entah hantu atau bukan, aku melihat seseorang mengenakan mantel merah. Wajahnya samar, namun alangkah terkejutnya aku saat menyadari kalau ia juga hadir pada peristiwa itu. Aku bertanya-tanya, siapa sebenarnya orang yang kulihat ini? Kenapa dia menggunakan jubah?

Kalau dipikir-pikir, dia tidak terlihat mencurigakan. Dahulu peristiwa itu terjadi ketika hujan deras saat mobil Ayah bertabrakan dengan mobil putih yang melintas di depannya. Orang itu menggunakan jubah untuk melindungi diri dari derasnya hujan, bukan begitu?

Aku berjalan menuju dapur, mengawali obrolan santaiku bersama Bi Minah di sana. Aku menanyakan hal yang membuatnya tiba-tiba pergi mendadak pada hari itu. Ia mengungkapkan bahwa dirinya merasa terganggu akan kehadiran perempuan rambut panjang yang kerap kali mengganggunya saat bekerja. Perempuan yang dimaksud sama seperti yang aku lihat tempo hari ketika Bi Minah hendak meninggalkan rumah dengan alasan pulang kampung.

"Jadi sebenarnya orang tua Bibi nggak sakit?" tanyaku penuh selidik.

"Maaf, Den."

Bagaimanapun juga, aku tidak bisa menyalahkan Bibi karena perbuatannya. Itu wajar, aku lihat sendiri betapa takutnya dia. Bahkan di hari sebelumnya aku diteror Kuntilanak itu. Selain itu, Bi Minah juga mengungkapkan kalau aura di rumah ini berubah drastis semenjak Ayah meninggal. Aku dibuat terkejut lagi oleh Bibi kalau sebenarnya pintu pada dinding kamarku itu ternyata adalah portal penghubung antara dunia gaib dan dunia manusia. Portal itu tidak hanya satu, tapi di dinding dapur juga ada. Hanya orang berkemampuan istimewa yang bisa melihat portal itu. Portal itu tidak sepenuhnya tersegel karena makhluk halus itu masih bebas berkeliaran melalui pintu itu.

"Bibi tahu cara nutup portal itu?"

"Nggak tahu, Den. Portal itu sepenuhnya tanggung jawab Bapak kamu. Karena dia sudah meninggal, makhluk-makhluk yang punya dendam sama Bapak kamu jadi bebas masuk keluar portal. Kamu harus belajar mengabaikan mereka, Den. Karena beberapa dari mereka berusaha mencelakai manusia seperti kita," ucap Bibi.

"Dendam? Dendam apa, Bi?" Aku bertanya-tanya. Aku tidak menyangka kalau pembantu di rumahku mengetahui sesuatu yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.

"Lagi ngapain nih? Kok asik banget?" Perbincanganku dengan Bibi terhenti ketika Ibu datang ke dapur. Lantas Bi Minah pun buru-buru pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain.

"Nggak ada apa-apa, Ma," jawabku.

~

"Dendam? Maksudnya apa?" Malam itu aku tidak bisa tidur. Sepanjang malam aku memikirkan makna dendam yang Bi Minah sampaikan padaku sore tadi. Rasa penasaran ini kian membelenggu sehingga aku tidak lagi memikirkan hal lain. Kepalaku seolah menitahkanku untuk mengunjungi portal gaib ini. Mungkin portal ini punya jawaban atas kematian Ayahku.

"Jangan terlalu penasaran dan jangan mencari-cari. Perkara tidak dapat diprediksi, Cu."

Kutolehkan kepalaku ke samping, tiba-tiba Kakek kembali berkunjung menyampaikan sesuatu.

"Maksud Kakek apa?"

"Jangan berjalan terlalu jauh, nanti kamu bisa tersesat."

Dalam sekejap sosoknya menghilang dari hadapanku. Aku tidak mengerti maksud perkataannya. Entah itu pesan atau peringatan. Aku tidak ingin memberatkan isi kepalaku dengan memikirkannya, jadi aku tidur saja malam itu.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang