22. Sang Dalang

226 19 0
                                    

Author PoV

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."

Kirana mondar-mandir gelisah di ruang keluarga. Bram sudah ditelepon berulang kali, namun tak kunjung di angkat. Kirana menyerah, lalu duduk menggigit jari. Pikirannya menerawang ke mana-mana. Dia khawatir sesuatu terjadi pada anaknya. Sejak awal Kirana ragu mengizinkan Bram sekolah sebab anak itu baru sembuh.

"Mama kenapa?" tanya Syafira kebingungan.

"Kakakmu jam segini belum pulang. Mama telepon tapi ga diangkat. Ke mana ya dia?"

Syafira turut khawatir terhadap kakaknya. Ia ikut duduk di sebelah ibu dan terdiam. Kirana membelai kepala sang putri, menanyakan sesuatu yang terjadi akhir-akhir ini.

"Kamu kenapa? Mama liat kok jadi pendiam begini?"

Syafira tidak merespon. Pelan-pelan ia kerahkan keberanian untuk bercerita. Matanya tiba-tiba lembap, bulir air mata membasahi pelupuk matanya. Dengan tersedu Syafira menceritakan masalah yang ia tutupi.

"Aku dibilang pembawa sial, Ma!" rengek Syafira.

Kirana mendekap tubuh sang putri, mencium pucuk kepalanya, mendorongnya bercerita lebih banyak lagi. Anak itu mengatakan ada sesuatu terjadi pada dirinya. Ia dijauhi karena setiap anak yang berdekatan dengannya kerap kali terkena sial. Ada yang tertusuk kawat ketika memasuki kebun belakang sekolah, ada yang kakinya terluka karena terinjak paku, ada yang ambruk dihantam papan kayu. Semua terjadi begitu saja tanpa tahu sebabnya.

"Aku harus gimana, Ma?!"

"Udah-udah, jangan nangis lagi," ujar Kirana menenangkan.

Di sisi lain terkumpul lima orang sahabat sedang nongkrong di rumah makan. Walau makanan yang disantap sudah habis, Rafael tetap bersikeras menetap untuk sekadar menumpang Wi-Fi.

"Ayo, Rafa, kita pulang aja, yuk!" rengek Ladya yang dari tadi minta pulang.

"Bentar, ah! Dikit lagi beres ini uploadnya."

Mereka dilanda kebosanan menunggu Rafa mengunggah video ke Youtube miliknya. Untuk mengusir kebosanan, Kartika berinisiatif membahas kasus pembunuhan yang gempar 30 tahun lalu.

"Sekarang semuanya udah terungkap, entah gimana nasib sekolah kita sekarang," ucap Kartika.

"Pasti bakal dipandang buruk sama masyarakat," kata Ladya dengan bibir ditekuk ke bawah.

"Eh, Bram ke mana ya? Dari tadi gue telepon nggak diangkat-angkat."

Damar sudah berusaha menelepon sahabatnya itu, tetapi tak diangkat. Tidak biasanya Bram seperti ini.

"Eh, tadi gue bilang ke Bram kalau dia dipanggil Kepala Sekolah," kata Linda.

"Terus?" kejar Damar.

"Karena berita ini keungkit lagi, otomatis reputasi sekolah hancur, kan? Setelah itu Kepala Sekolah bakal dipecat. Karena kasus bully itu udah kesebar, mungkin Bram...." Linda menggantungkan pembicaraan.

"Maksud lo Bram diculik, gitu?!" Kartika panik.

"Ha? Yang bener aja kalian!" seru Damar menentang.

"Udah-udah, kita masuk mobil semua. Kita cari Bram sekarang!" usul Rafael.

~

Alunan jangkrik dan katak menggapai kesadaranku. Kuedarkan pandang ke sekeliling, tak sedikitpun cahaya memasuki kornea mataku. Aku tersadar sedang duduk selonjoran di hutan. Ternyata sejak tadi aku bersandar di pohon dengan tangan dan kaki terikat, juga mulut terlakban.

Misteri Kematian Ayah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang