[17] Prove Yourself

6.7K 328 22
                                    

"Jangan basah dulu, woi! Belum juga nyampe tempat janjian!" tegur Ben dari balik setir.

Dia pasti udah gengges berat lihat mukaku yang perpaduan antara ngantuk, tapi pengen digabruk.

"Gils, Ben! Gue aja udah enggak inget. Kapan yak terakhir gue nge-date dan nakal-nakalan begini sama cowok yang baru gue kenal?" sahutku sambil asal meluruskan kaki ke atas dasbor.

Hari ini kuputuskan memakai kaus putih polos pas badan dan rok kargo warna hijau army sedikit di atas lutut. Sempat tadi aku melihat di depan kaca. Tubuhku sudah kehilangan beberapa kilogram sejak putus dari Abim setengah tahun. Namun, asetku yang paling bersinar, pantat yang bulat dan menggoda, terbentuk indah dengan rok ini.

Ben sudah kebal melihat pahaku berkeliaran begini visualnya. Berkat setruman yang membuatnya selalu membatalkan niat dan mematikan nafsunya menggarapku dalam percintaan panas. Lagipula, dia juga takut bakal disunat habis oleh Bayu, sahabatnya, sekaligus abang semata wayangku tersayang.

"Boleh juga nih, Mas Tato. Doyanannya tempat ngopi gaya industrial," komentar Supir Dadakanku hari ini. Ia melihat penampakan Cuppa Jakarta, sebuah kedai kopi di Jalan Cipete Raya, lewat Google Maps.

"Gue belum pernah nyobain di sini. Tapi, Sekar bilang, menurut Si Bebeb baru yang doyan keliling ngopi, kopi Cuppa lumayan oke. Buat nongkrong sore gini asyik," laporku.

Sekar tadi sempat meneleponku, sebelum aku hendak berangkat. Kuceritakan saja sekilas tentang rencanaku meet up dengan salah satu Tinder match. Tentu saja tanpa kalimat-kalimat yang mengindikasikan aku ada kemungkinan bakal berinteraksi sepanas kompor gas. Kubilang saja, Ben bakal mengantar dan mengawalku. Setidaknya, Sekar jadi lebih tenang, tahu aku tidak pergi sendirian menemui cowok asing. Maklum, Nona Kasmaran itu mencemaskan diriku yang menurutnya masih belum stabil benar dari patah hati.

Kubesarkan volume playlist Radiohead di radio mobil yang terhubung dengan ponselku. Masih ada waktu setengah jam menuju waktu janjian dengan Gavin. Apartemennya di Jalan Prapanca jaraknya jelas lebih dekat daripada rumahku di Tebet. Aku datang lebih cepat supaya bisa mengatur detak jantungku yang mulai tak beraturan.

I just cannot wait what kind of surprise will await for me.

Di sisa waktu perjalanan, aku tak sengaja tertidur sejenak. Tahu-tahu Ben sudah mengguncang-guncangkan tubuhku begitu kencang. Suara Thom Yorke menyanyikan No Surprises, bikin aku terlena dan tahu-tahu lenyap ditelan kantuk.

"Neng, neng, buruan Neng. Itu Aa-nya udah siap mau merenggut kegadisan Neng," celoteh Ben, dengan logat Sunda asal-asalan.

Aku gelagapan bangun sambil menyeka air liur di sudut bibir kiri. Sialan! Dikira aku perawan mau dijual ke gadun haus darah kali ya!

"Najis banget bahasa lo! Udah pengalaman jadi germo lo ye?" semburku sengit.

Suara tawa Ben yang panjang dan sok diberat-beratkan, makin bikin aku keki. Kuberi cubitan kecil maut saja di lengan kirinya sampai ia menjerit bagai biji diinjek warga tawuran.

"Yakin tuh, bawa kancut satu cukup? Kenapa enggak bawa setengah lusin? Kali aja lo squirt sampai ngompol kayak Nunung ketawa," cela Ben, waktu aku sibuk memeriksa lagi semua dandanan dan isi tasku.

"Udah, diem aja deh lo. Gue kan bukan anak kemaren sore perkara menggoyang ranjang. I know my limits," sanggahku sambil memonyongkan bibir.

Kembali kupulas lipstik warna nude dan sunnies gaya retro berlensa merah. Biasanya aku berusaha menutupi tato yang menghiasi lenganku. Namun, kali ini, mengingat Gavin juga cowok bertato, kuputuskan untuk memperlihatkannya dengan pakai baju lengan pendek. Biar menegaskan kalau kami memang secocok itu. Eciyeh, geer amat kamu, Mesh!

Wanted Rebound Love (21+) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang