[23] Little by Little

5.3K 329 17
                                    

"Tell me everything. I want to start this right."

Di malam pertamanya sebagai cowokku, Luthfi memutuskan untuk menemaniku. Mungkin bermalam di sini. Setelah tadi menyuapiku dua jenis sup ayam, krim dan kuah bening, serta sebungkus nasi, sekarang ia mengeloniku di sofa.

Berondong rasa Bapak. Itu istilah tepat untuk Pak Manajer Muda ini.

Aku bersender pada tubuh Luthfi, sementara ia memelukku dari belakang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku bersender pada tubuh Luthfi, sementara ia memelukku dari belakang. Membelai rambutku perlahan, sembari bicara dengan intonasi yang sangat menenangkan.

"Cerita saja apa yang aku perlu tahu. Mau yang senang, sedih, menakutkan. Aku cuma mau kamu enggak menyimpan banyak beban sendiri," ucap Luthfi.

Suaranya lirih. Namun, aku bisa menangkap semua kata yang meluncur dari mulutnya. Iringan musik versi instrumental lagu-lagu Coldplay terdengar sayup-sayup dari ponselku. Kurasakan otot-ototku jadi lebih relaks. Napasku teratur mengikuti satu ritme yang tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat. Kedua tangan Luthfi sekarang ada di bahuku. Pijatan-pijatan cukup bertenaga kian membuat aku terbuai dan santai.

"First thing first. Be honest about your true self," sambung Luthfi lagi.

Suaraku terdengar lebih parau. Mungkin sisa menangis seharian ini. Namun, aku bisa lancar berkisah kepada Luthfi. Banyak hal tentang diriku yang selama ini belum ia tahu.

Papaku yang pergi tiba-tiba saat aku masih balita. Demi berkumpul dengan keluarga baru yang diam-dia ia punya tanpa seizin Mama.

Tubuh gendutku sepanjang masa kecil dan remaja. Disertai celaan dan hinaan yang kerap mampir dari mereka yang tak tahu tata krama.

Sifat tak enak hatiku, membuat beberapa cowok brengsek memanfaatkanku. Aku menjadi mainan dan pelampiasan nafsu. Diam saja, demi mempertahankan mereka yang waktu itu jadi pacarku.

Abim, satu-satunya pacar yang memperlakukanku dengan manusiawi. Cowok yang kukenal saat magang di kantornya. Kenangan-kenangan bagaimana Abim membuatku lebih percaya diri.

Aku yang mulai meyakini kalau aku bisa jadi cewek menarik dengan diriku apa adanya.

Di sela-sela ceritaku, Luthfi sesekali pergi ke dapur. Mengambilkanku dua cangkir, masing-masing berisi air mineral hangat dan teh lemon panas. Setiap aku berhenti, menghela napas sesaat atau emosiku terlalu menyesakkan dada, Luthfi merengkuhku dalam pelukan hangatnya.

Aku tersadar. Betapa banyak hal yang selama ini kukira sudah baik-baik saja, rupanya hanya terdiam di sudut hati dan ingatan. Lalu, diam-diam mereka menggerogoti jiwaku, perlahan melubanginya.

Aku memutar badan dan kini saling menatap dengan Luthfi, "Fi, aku bukan cewek yang sebaik kamu pikir. Jalan lurus itu bukan jalanku. Rumit banget buat ngerti aku. Enggak ada rumus buat bantu kamu, apalagi aplikasinya."

Kedua iris mata Luthfi yang warnanya cokelat tua itu seolah menembus iris mataku. Pandangannya terpaku hanya pada wajahku. Mengusap pipi kiriku, Luthfi tersenyum tipis. Aku jadi jengah. Soalnya, dia sama sekali enggak bicara. Mana napas kami lama-lama jadi seperti seirama.

Wanted Rebound Love (21+) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang