Bab 9. Please, Kill Me

97.9K 9.1K 1.3K
                                    

Bab 9. Please, Kill Me

Kalau aku punya banyak waktu, aku mau kasih seluruhnya ke kamu, biar kamu tahu kalau semua waktuku memang untuk kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalau aku punya banyak waktu, aku mau kasih seluruhnya ke kamu, biar kamu tahu kalau semua waktuku memang untuk kamu. Jiakhh wkwk.

Quotes serius untuk bab ini :

Nanti, kalau aku masih ingat semua perlakuan buruk kamu, jangan marah ya. Karena benar kata tokoh Keenan di Perahu Kertas. Otak suka nyaring, mana yang harus diingat, mana yang harus dilupain.

***

SEJAK menemukan Lyodra di halte dekat Essence Darmawangsa, adiknya itu tidak bicara apapun dan menangis terus sampai pulang. Semua pertanyaan yang dilontarkannya tidak ada yang dijawab.

Lyodra berantakan malam itu. Matanya bengkak. Ada luka kecil di sudut bibirnya. Kemejanya kusut. Dan rambutnya sedikit awut-awutan. Sampai di apartement pun, Lyodra masih bungkam. Karena lelah membujuk dan mencari sejak tadi, ia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sejak.

Mirabeth pikir, ketika pagi semuanya akan membaik dan terlihat jelas. Tapi, perkiraannya salah. Lyodra masih menangis dan meringkuk di bawah selimut.  Antara kesal, kasihan, khawatir, takut dan bingung ketika melihat Lyodra tidak berhenti menangis sampai pagi dan tidak menjawab saat diajak bicaea. Ia menarik paksa selimut Lyodra dan menarik adiknya itu untuk duduk.

"Lo kenapa sih, Ly?" tanya Mirabeth dengan nada kesal.

Manusiawi saja, siapa yang nggak kesal dibuat panik karena Lyodra tidak pulang hingga larut malam, ia harus mencari adiknya itu kemana-mana, tidak ada kontak teman Lyodra yang bisa dihubungi karena adiknya itu masih terhitung anak baru. Setelah kuliah dan kerja, ia harus keluar malam-malam menyusuri jalanan Jakarta untuk mencari Lyodra.

Saat pikirannya kalut, telepon masuk, adiknya itu menghubunginya melalui telepon umum dan minta dijemput di halte daerah Dharmawangsa. Sebuah kawasan apartement elite yang letaknya jauh dari tempatnya berada saat itu.

Tidak peduli hujan, ia berangkan dan menemukan Lyodra dengan keadaan memprihatinkan. Ia sudah mencoba untuk tenang meskipun pikirannya sudah kemana-mana. Toh, nanti Lyodra pasti akan menjelaskan. Sayangnya, sampai sekarang, Lyodra masih memilih bungkam.

"Jangan bikin gue berpikiran yang macem-macem. Lo kenapa sih? Pulang malam, penampilan udah acak-acakan, sekarang masih nangis terus. Ada yang ngapa-ngapain lo?" cecar Mirabeth.

Ini sudah jam lima pagi lebih. Harusnya ia sudah siap-siap masak dan Lyodra bergegas menyiapkan perlengkapan sekolah. Tapi, karena sesuatu yang belum jelas ini, semuanya tertunda. Rutinitas pagi menjadi seperti yang tidak biasanya.

"Lyodra!!" bentak Mirabeth karena Lyodra tidak menjawab.

Dengan tangan bergetar, Lyodra mengusap air matanya. Ia takut yang mau bercerita pada Mirabeth. Bukan takut dimarahi, tapi takut Samuel menjalankan rencananya untuk membongkar aib kedua orangtuanya jika ia mengadu. "Lyodra mau libur sekolah dulu," katanya dengan suara serak.

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang