[Naskah Sedang Direvisi Untuk Proses Penerbitan]
"Ternyata memaafkan dan mengikhlaskan sesuatu tidak sesulit yang aku pikirkan." - Angkasa Putra Sandjaya
"Aku tidak tahu bagaimana dengan dirinya, tapi yang kutahu cintaku padanya seluas angkasa." - A...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Teeett ... teeeetttt ... teettttttt ....
Bunyi bel pertanda jam sekolah telah berakhir, terdengar seperti lantunan musik yang begitu merdu ditelinga para murid SMA Harapan Bangsa. Wajah mereka terihat begitu sumringah saat mendengar bel tersebut. Begitupun dengan Aisyah dan Javanico. Mereka berdua sudah bersiap-siap memikul tasnya masing-masing.
"Aisyah, ntar singgah ke musholla dulu ya, ditungguin sama kak Ichal," ucap Dela, teman sekelas Aisyah dan Java, yang juga anggota ekskul Rohis.
"Oke Del," jawab Aisyah.
"Ya udah, Syah, aku tungguin kamu disini aja. Kamu ke musholla aja dulu," ujar Java.
Kedua sahabat itu sudah janjian akan ke perpustakaan daerah sepulang sekolah. Namun saat mendengar Aisyah yang dipanggil ke musholla, Java pun memutuskan untuk menunggu sahabatnya itu di dalam kelas.
"Iya, tapi kalau nunggunya kelamaan, kamu duluan aja ke perpus, ntar biar aku nyusul kesana," kata Aisyah.
"Oke, tenang aja," ucap Java yang kemudian duduk kembali di bangkunya.
Aisyah dan Dela pun berjalan bersama menuju ke musholla. Mereka telah ditunggu oleh Ichal, murid kelas XI yang juga merupakan Ketua Rohis. Sementara Java mengeluarkan kembali buku pelajaran Fisika dari dalam tasnya.
Sambil menunggu Aisyah kembali, Java membaca lagi buku tersebut. Fisika memang salah satu mata pelajaran kesukaan Javanico, tentu saja selain Matematika dan Kimia. Sedangkan Aisyah lebih menyukai pelajaran Biologi dan Agama.
Saat tengah asyik membaca buku Fisikanya, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kelas. Pria tampan dan memiliki sorot mata tajam itu, tiba-tiba menarik buku Fisika yang sementara dibaca oleh Java, lalu membuangnya ke sembarang arah.
"Kak Angkasa, ada apa?" tanya Java yang saat itu hanya tinggal sendirian di dalam kelas. Cowok berkacamata itu terkejut dengan sikap Angkasa yang tiba-tiba merampas bukunya.
"Nggak usah sok culun deh lo!" bentak Angkasa.
"Maksudnya apa kak?"
"Gue heran, lo itu beneran bego apa pura-pura bego?"
"Java bener-bener nggak ngerti kak."
Javanico memang benar-benar tidak mengerti kenapa Angkasa tiba-tiba masuk ke kelasnya dan bertindak kasar padanya.
"Lo beneran nggak ngerti? Oke ... gue bakal bikin lo ngerti!"
BUGGG!!
Sebuah tinju yang sangat keras dilayangkan Angkasa di wajah lugu Javanico. Sontak kacamata pria kutu buku itu langsung terlepas dan jatuh ke lantai. Tanpa kacamata, pandangan Java sedikit buram. Ia bahkan belum benar-benar siap saat Angkasa melayangkan kembali tinjunya yang kedua. Java sampai jatuh tersungkur di lantai.
"Bangun lo, cemen!"
"Java nggak akan ngerti apa yang bikin kak Angkasa benci sama Java, kalau kakak tidak menjelaskan apapun."
Sejenak Angkasa terdiam di tempatnya, ia tidak melakukan apapun. Java memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari kacamatanya yang jatuh di lantai. Melihat wajah Javanico yang terlihat memang tidak mengerti apa-apa, membuat Angkasa akhirnya melangkah maju dan mendekati Java.
Kemudian pria itu jongkok dengan kaki kanannya bertumpu pada lantai. Tangan kirinya diletakkan di atas lutut kirinya. Telunjuk kanannya menekan-nekan dada Javanico dengan keras.
"Lo, sama nyokap lo, udah ngerebut kebahagiaan gue dan nyokap gue. Nyokap gue sampai bunuh diri, gara-gara Sandjaya lebih memilih kalian berdua, ketimbang gue dan nyokap gue."
Angkasa mengucapkan kata-kata itu dengan perasaan getir. Rasa marah, benci, dendam, melebur jadi satu dalam hati bersamaan dengan rasa sedihnya atas meninggalnya mama tercinta.
"Sandjaya? Itu kan nama ayah. Berarti kak Angkasa, kakak tiri aku?" tanya Java pada dirinya sendiri, dalam hati.
"Ja-Java ... minta maaf kalau ternyata selama ini Java dan bunda sudah ngerebut kebahagiaan kak Angkasa dan mama kakak. Java nggak pernah tahu masalah ini, karena Ayah nggak pernah cerita apa-apa."
"Ya iyalah pria tua itu nggak cerita apa-apa ke kalian, lo pikir buat apa dia cerita kebusukannya sama lo dan nyokap lo!"
Javanico masih terdiam dengan ucapan Angkasa. Sosok ayah yang selama ini dia banggakan, ternyata memiliki keluarga lain selain dirinya dan bundanya.
"Apa bunda tahu hal ini?" batin Java.
Angkasa berdiri kembali dari posisi jongkoknya. Saat ia membalikkan badannya, tak disangka ternyata sudah ada Aisyah berdiri di pintu kelas. Entah sejak kapan gadis itu ada disitu.
"Apa dia mendengar semuanya?" tanya Angkasa dalam hati.
Angkasa yang masih meluap-luap emosinya, hanya berjalan saja seperti biasa dan melewati Aisyah yang masih terpaku di pintu kelas. Namun saat ia hampir berlalu, tiba-tiba terdengar suara Aisyah.
"Java nggak tahu apa-apa soal masalah kak Angkasa dan almarhumah mama kakak. Rasanya tidak pantas kalau kak Angkasa melampiaskan semuanya pada Java."
Angkasa bukannya tidak mendengar kata-kata Aisyah. Tetapi pria itu lebih memilih untuk diam saja dan tidak menanggapi ucapan Aisyah. Angkasa terus berlalu dengan amarah yang tersisa di dalam hatinya.
Aisyah segera menghampiri Javanico yang masih berusaha mencari-cari kacamatanya.
"Nih Java," kata Aisyah sambil menyerahkan sebuah kacamata yang tergeletak di lantai pada Javanico.
"Thanks, Syah."
Javanico menerima kacamata dan langsung mengenakannya di wajahnya.
"Maaf ya Java, aku nggak bisa nolongin kamu tadi, aku terlalu lama di musholla." Aisyah menunjukkan wajah penyesalannya.
"Nggak apa-apa, Syah. Tapi kayaknya aku nggak bisa ke perpus dengan keadaan seperti ini," ujar Javanico.
"Iya, aku ngerti. Lain kali saja kita ke perpusnya."
Setelah merapikan dirinya yang sempat terlihat berantakan akibat pukulan Angkasa, Java pun segera pergi meninggalkan kelas dan menuju halaman parkir. Java mengendarai motor matic kesayangannya dan langsung segera menuju rumah. Niatnya adalah meminta penjelasan dari ayah dan bundanya mengenai apa yang baru saja ia dengar dari Angkasa.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.