"There's a sure distinction that everyone has. Same as me, same as him. But sadly, we have one thing in common. We both chose you. And I never regretted it."
Katanya, hidup adalah tentang perjalanan untuk pulang. Ketika kita berjalan untuk menemukan...
Ini bukan tentang sapuan warna di angkasa Melainkan jingga yang aku torehkan diatas kanvas tanpa noda Ini bukan tentang puisi seorang pujangga Melainkan sajak-sajak singkat yang pernah aku baca Ini bukan tentang cinta dan rahasia Melainkan kejamnya takdir yang terbentangantara aku dan dia
103,1 Romanseu FM
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mungkin benar jika waktu adalah sebentuk skala paling misterius yang pernah ada. Detik demi detik berlalu serupa pasir yang digenggam. Meski kuat, pasir itu akan tetap beramai-ramai menyusup dari sela jemari untuk keluar. Hari berlalu dengan cepat. Setiap jam terlewat seperti embus angin yang menerbangkan layang-layang ke udara. Ini sudah hari ke sekian sejak Arsyl menghubungi Arya perihal peringatan hari kematian Mama. Tapi, tetap tidak ada balasan. Seharusnya Arsyl sudah bisa menebak ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi tentu saja tidak ada salahnya mencoba 'kan?
Harusnya, hari ini Arya bisa ikut bersamanya ke makam Mama. Tapi jika sudah begini, terpaksa dia harus menemui Mama seorang diri.
Matahari bersinar sangat terik siang ini, panasnya membuat bumi seolah sedang berada dalam oven raksasa. Dia berjalan pelan menyusuri jalan setapak yang sengaja disiapkan untuk jalur pelayat, sembari membawa sebuket white lily di tangan kanan. Tempat itu sangat sepi, sunyi yang dari tadi menemaninya sepanjang perjalanan membuat Arsyl mendadak terpikirkan kalau, Mama pasti tenang berada disini. Setidaknya, Mama tidak perlu lagi merasakan sakit, tidak perlu lagi menangis diam-diam di tengah malam atau sekedar pura-pura bahagia.
Arsyl menghembuskan napasnya pelan, kemudian langkahnya terhenti ketika dia melihat sosok lain tengah berdiri diam di samping pusara Mama. Sudah jelas, Arya ada di sana. Arsyl tidak ingin membuat Arya merasa tidak nyaman hanya karena kehadirannya, karena itu dia memilih untuk mundur beberapa langkah lalu berdiri di balik salah satu pohon besar yang ada disana. Sosok Arya masih mampu dia lihat, cowok itu masih berdiri disana tanpa melakukan apa-apa. Dia hanya diam, memandangi batu persegi berwarna kelabu didepannya selama beberapa lama sebelum berbalik dan pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa.
Hanya karena Arya diam, bukan berarti dia tidak merindukan Mama atau merasa perlu untuk mengirimkan doa. Arsyl tahu betul, Arya sangat merindukan Mama. Alasan kenapa dia diam tentu saja hanya satu, karena jika dia berusaha berbicara, Arsyl yakin jika Arya akan menangis. Sebab rindu paling menyakitkan adalah rindu yang tidak bisa diucapkan melalui kata-kata. Arya tidak ingin menangis di depan Mama, itu saja.
Arsyl memejamkan matanya selama beberapa saat, kemudian memilih berjalan mendekat hingga seluruh tubuhnya kini berada di bawah naungan dahan Kamboja, menatap batu persegi berwarna kelabu yang berada beberapa meter didepannya.
Dia diam sejenak, mencoba menemukan kata-kata untuk diucapkan.
"Maaf, Ma. Hari ini kita datangnya masih sendiri-sendiri." Arsyl menghela napas, memutuskan hanya mengatakan kalimat itu pada akhirnya. Dia berjalan mendekati batu persegi itu, lantas merunduk dan meletakkan sebuket white lily yang dia bawa di atasnya. Sekali lagi, napas panjangnya tertarik sebelum akhirnya di berbalik dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.