Ini kisah tentang biru yang mewarnai samudra
Tentang langit juga sapuan awan di udara
Hanya sedikit yang bisa disampaikan
Tidak sederhana namun tak lebih rumit dari teka-teki kehidupan
Biru itu selembar usang kertas putih tua
Yang siap menerima jutaan kata yang melukis banyak cerita
Penulisnya adalah ujung dari mata hitam tinta
Dan kita, adalah cerita yang tak pernah bersua dengan akhir bahagia103, 1 Romanseu FM
Suasana rumah benar-benar senyap ketika Arsyl sampai. Jordy belum pulang, Jeff sudah pasti ada di kafe sementara Haidar mungkin sedang asik nongkrong dengan teman-teman kuliahnya. Arsyl langsung berjalan pelan menuju kamarnya, memilih mengistirahatkan sejenak punggungnya yang pegal juga kakinya yang sedikit kesemutan setelah hampir satu jam berdiri dalam bus yang penuh sesak. Suasana sepi yang begitu terasa membuat Arsyl jadi menghembuskan napasnya beberapa kali. Seharusnya bukan masalah, karena Arsyl memang sedang butuh waktu untuk dirinya sendiri. Tapi entah kenapa sunyi yang melingkupinya tidak membuatnya merasa aman, malah justru membikinnya diliputi rasa tidak nyaman. Arsyl mencoba mengabaikannya, memilih menyibukkan diri dengan gitar miliknya yang di sandarkan di samping ranjang.
Gitar itu adalah hadiah yang di berikan Mama ketika dia mengikuti les musik--yang sebebernya lebih cocok disebut sebagai komunitas musik karena mereka yang memegang alat musik berbeda juga di tempatkan dalam satu kelas--waktu SMP.
Gitar itu menyimpan banyak sekali kenangan. Bukan cuma soal Mama, tapi juga seorang teman lama yang sudah tak pernah dia temui lagi. Teman itu lebih muda dua tahun darinya, sesosok cowok dengan suara tawa melengking yang menjadi teman pertamanya di tempat les. Suatu kali, cowok itu pernah menghampirinya ketika dia sedang duduk sendirian di pos penjaga tempat les. Itu adalah awal pertemuan mereka. Les baru akan di mulai sejam lagi dan tempat itu masih sepi. Buat sebagian besar anak seusia mereka bedua, kegiatan tambahan seperti les adalah sesuatu yang menyusahkan. Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi Arsyl dan cowok itu. Mereka tidak pernah saling menyapa meski beberapa kali mereka datang terlalu awal bersama. Tapi agaknya, hari itu berbeda.
"Hai."
Arsyl yang sedang mengatur senar gitarnya langsung menoleh. Keningnya berkerut, tapi kemudian dia langsung tersenyum. "Iya?"
"Kak Ino kan? Kita sekelas."
"Biasanya di panggil Arsyl, sih."
"Tapi nama depannya 'kan Ino? Kok dipanggilnya pake nama tengah? Kayak aku dong, Alleo Biru. Dipanggilnya Ale atau Leo, bukan Biru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Radio Romance
Teen Fiction"There's a sure distinction that everyone has. Same as me, same as him. But sadly, we have one thing in common. We both chose you. And I never regretted it." Katanya, hidup adalah tentang perjalanan untuk pulang. Ketika kita berjalan untuk menemukan...