Radio #07: Kita Memang Harus Terluka

311 137 34
                                    

Kepada peluk yang selalu ku rindukan
Perkenalkan aku sang rumah yang kau pilih sebagai tujuan
Sebuah tempat yang telah kau cari sekian lama
Sebuah hati yang dulu sempat kau buat terluka
Memang,
Rumah ini bukan secangkir kopi yang akan membuatmu terjaga
Bukan secarik surat yang langsung berhasil membuatmu jatuh cinta
Rumah ini hanya seikat bunga liar, detail kecil yang menarik perhatianmu sejak lama

103,1 Romaseu FM

Ekspresi wajah Arya langsung berubah kaku begitu dia pulang dan mendapati mobil papa sudah terpakir tepat di depan pintu garasi yang masih tertutup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ekspresi wajah Arya langsung berubah kaku begitu dia pulang dan mendapati mobil papa sudah terpakir tepat di depan pintu garasi yang masih tertutup. Papa sudah sering tidak berada di rumah, terutama sejak Arsyl meninggalkan rumah setelah bertengkar hebat dengannya. Arya sudah bisa menebak, pasti ada alasan khusus kenapa papa pulang hari ini. Atau mungkin sebenarnya dia tahu tapi berlagak pura-pura tidak tahu.

Arya berdecak pelan saat dia masuk ke ruang makan dan mendapati papa juga seorang wanita yang tidak dia kenal sudah berada disana. Mereka duduk diam di depan sederetan hidangan yang Arya tahu papa beli dari salah satu restoran langganan. Ada makanan favoritnya disana, juga... minuman ungu kesukaan Arsyl--meski cowok itu tidak ada disini.

"Seingat aku hari ini nggak ada yang ulang tahun."

Papa menoleh, lalu berdeham pelan. "Kamu baru pulang?"

"Enggak." Arya menyahut sarkastik sambil memutar bola mata, mengabaikan air muka wanita di sebelah papa yang menatapnya dengan sorot terkejut.

Arya tidak peduli lagi dengan pandangan orang terhadapnya. Bagi Arya, masa-masa dimana dia bisa menghormati lelaki setengah baya itu sudah lama lewat. Anggap saja dia anak durhaka atau apa, tapi Arya berani bertaruh, seandainya saja orang lain tahu bagaimana dia harus berusaha bertahan sendirian selama ini, jangankan bersikap kurang ajar, mungkin mereka sudah mengejar papa dengan clurit di tangan sejak lama.

"Cuci tangan Arya, kita makan bareng."

"Nggak lapar."

"Papa nggak tanya kamu lapar atau nggak." Papa meninggikan sedikit nada suaranya. "Duduk. Papa mau bicara."

Arya mendengus keras, tetapi sadar mendebat papa hanya akan membuatnya semakin kesal. Dia naik ke kamar untuk menaruh tas, kemudian mencuci tangan sebentar sebelum kembali ke ruang makan.  Papa berdeham beberapa kali dan mencoba membuka percakapan. "Gimana kuliah kamu?"

"Nggak gimana-gimana."

"Papa punya kenalan seniman di Prancis, kalau kamu mau papa bisa kenalin. Nanti sekalian kamu bisa belajar disana setelah menyelesaikan—"

"Nggak perlu. Aku bisa belajar sendiri, lagian aku juga suka disini. Dekat kalau mau mengunjungi mama." Arya memotong pedas, melirik sekilas pada wanita didepannya yang dari tadi membisu dan pura-pura tidak dengar, kemudian menyambung. "Nggak usah basa basi, Pa. Kalau udah gini pasti papa ada maunya. Bilang aja sekarang, pa. Jangan buang-buang energi. Aku capek, mau tidur. Lagian udah malam juga, nggak enak kalau tetangga tau papa bawa..." Arya melirik wanita didepannya sekali lagi.

Radio RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang