Radio #05: Lukisan Langit

364 143 74
                                    

Barangkali, kanvas itu perlu warna yang sederhana
Tanpa campuran jingga atau merah merona
Mungkin hitam atau kelabu lebih kaya makna
Atau sesederhana putih yang menumpahkan banyak seandainya

Barangkali, kuas itu perlu tuan yang lebih istimewa
Bukan lagi bersama gadis tiga pagi yang selalu tergesa-gesa
Tapi barangkali, tuan itu lebih suka warna yang lebih terbaca
Seperti hijau yang menyejukkan mata
Atau biru yang menyapu nabastala

Barangkali, tuan itu telah menciptakan goresan sederhana
Bertemakan rasa dan beralaskan kanvas sebagai latar sandiwara

Sebutlah,
Lukisan langit namanya

103,1 Romanseu FM

Jam sudah menunjuk angka sebelas ketika Arsyl berniat menyeduh kopi instan di dapur yang memang tersedia di dalam studio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam sudah menunjuk angka sebelas ketika Arsyl berniat menyeduh kopi instan di dapur yang memang tersedia di dalam studio. Siaran sudah selesai setengah jam lalu, rekan-rekannya sudah pulang lebih dulu, meninggalkan cowok itu berdua bersama Jordy-ketua tim sekaligus seseorang yang mengenalkannya pertama kali pada radio.

"Lo mau langsung pulang atau mampir ke suatu tempat dulu?" Jo bertanya sambil mendekati Arsyl yang kini sedang duduk didekat jendela.

"Langsung."

"Good. Yaudah ayo balik, badan gue rasanya kram semua. Besok ada jadwal hunting foto, berburu sunrise."

Cowok itu mengangguk, lantas mengekori Jo yang sudah lebih dulu keluar ruangan dan berjalan santai menuju parkiran.

Sepanjang perjalanan menuju rumah--rumah yang dimaksud disini adalah tempat tinggal Jordy yang juga merangkap sebagai tempat tinggal Arsyl dan beberapa teman lainnya--mereka saling mengobrol. Seperti biasa, Jo akan menjadi orang yang mendominasi percakapan. Mereka membicarakan banyak hal, bukan sesuatu yang penting, hanya celotehan random tentang seorang penjual Gudeg di pinggir jalan yang menggunakan gincu merah darah atau banci-banci dengan dada sebesar bola yang terlihat sedang menggoda beberapa cowok kekar di dekat persimpangan. Sesekali, mereka akan tertawa ketika melihat spanduk-spanduk pemilu yang sudah robek di beberapa bagian--seringnya robekan itu tertarik dari gambar hidung sampai kedagu atau mata yang sobek sampai ketelinga. Receh. Khas selera humor rakyat +62. Sampai kemudian mobil mereka memasuki halaman rumah yang terasnya terlihat gelap karena lampu yang belum dinyalakan.

"Ini pasti kerjaan Jeff deh. Lampu nggak dihidupin sampai hampir tengah malam, didatengin mbak kunti baru tau rasa." Jo berdecak sambil mematikan mesin mobil, kemudian berjalan memasuki rumah yang langsung diikuti oleh Arsyl.

"Nah! Akhirnya datang juga. Gue baru selesai masak nih. Spesial ayam rica." Suara berat Jeff langsung menggema ketika pitu dikuak.

"Hidupin dulu itu lampu. Mau ngundang mahluk astral lo?"

Jeff akan menjawab kata-kata Jo ketika Haidar keluar dari kamar dengan ponselnya yang masih menyala--menampilkan banyak angka dari skor yang Arsyl yakani sebagai hasil akhir sebuah game. "Itu lampunya emang nggak bisa nyala bang. Kayaknya ada yang konslet."

Radio RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang