PART 20: JUJUR

24.4K 3.6K 554
                                    


by sirhayani

part of zhkansas

...

Saat mendengar suara pintu ruang UKS yang terbuka, Riri sama sekali tak mau menoleh. Dia khawatir seseorang yang datang adalah Malvin dan kembali membuatnya tidak nyaman.

"Parah banget sih tuh anak." Suara Aneta. Aneta duduk di kursi yang berhadapan dengan Riri. Riri spontan mengembuskan napas. "Gue juga tadi udah lari pengin nyamperin lo, tapi tahu nggak apa yang guru olahraga kelas XI bilang ke gue?"

"Apa emang?"

"Kamu tega mau ngerusak momen romantis itu?"

"Hah?" Riri melotot kaget. Sejak tadi pikirannya terbagi bahkan sejak kedatangan anggota PMR yang mengurusnya.

"Terus, orang-orang sempet ngegosipin lo. Mereka curiga lo target setelah kejadian tadi, bukan yang namanya Vera itu."

"Astaga. Apa lagi, tuh?" Riri menekan pelipisnya yang rasanya mulai berdenyut sakit. "Nggak mungkin gue target. Gue udah mulai ngerasa apa yang terjadi belakangan cuma kebetulan ... aja."

"Semoga, sih." Aneta menghela napas panjang. "Banyak juga yang ngelak sebenarnya."

Riri menarik tangan Aneta dan menaruhnya di atas dadanya. "Kerasa nggak?"

Aneta tampak heran. "Lo kenapa deg-degan? Kenceng banget."

"Gue juga nggak tahu, tapi sejak digendong cowok itu...." Riri mengembuskan napas kasar. Dia kesal telah ingkar janji. Padahal tadi dia berusaha untuk tidak mengingat hal itu lagi. "Tadi sih udah enggak, tapi waktu ingat kejadian tadi gue deg-degan lagi."

"Oh ngerti...." Aneta menatap Riri lamat-lamat. "Katanya sih, kalau kayak gitu lo lagi jatuh cinta.

"HAH?! KOK GITU?" Riri menggeleng tak percaya. Dia menatap Aneta kesal. "Lo kalau ngomong jangan sembarangan."

Aneta menggaruk pelipisnya. "Ya, kata orang-orang, sih...."

"Buktiin aja dari lo. Pernah ngerasain kayak gini nggak?"

"Pernah." Aneta mengangkat bahu. "Deg-degan karena harus bicara depan kelas buat presentasi...."

Riri diam memikirkan maksud dari kata-kata Aneta dan menghubungkan apa yang selama ini dia rasakan. "Rasa gugup ada karena takut salah, ya. Berarti ada hubungannya dengan rasa takut?"

"Ah, bisa jadi," celutuk Aneta skeptis. "Lo mungkin deg-degan karena dilihatin sama banyak orang?"

Riri hanya diam. Semua terasa membingungkan.

***

Lorong mading dipenuhi oleh para siswi yang kebanyakan sudah mendaftar dalam ekstrakurikuler teater. Aneta dan Riri sampai berlari kencang untuk melihat informasi yang diberikan oleh ketua teater seperti yang ketua katakan di grup. Katanya, informasi yang ada di mading sekolah adalah hal yang penting bagi para anggota dan para anggota harus melihatnya secara langsung di sana.

Riri langsung menghentikan langkah saat melihat orang-orang berkerumun di sana.

"Harusnya ngasih info lewat group chat aja, kan," gumam Riri sambil melanjutkan langkahnya bersama Aneta. Dia hanya mendengar informasi dari para siswi yang bicara dengan suara keras.

"Kita beruntung banget tahu informasi ini pertama kali tahu nggak?" Seorang siswi berbicara. Dia tinggi di antara yang lain karena menaiki sesuatu. Makanya meski Riri jauh, dia bisa melihatnya. "INI TUH PENGUMUMAN JADWAL TEATER YANG SELALU DIRAHASIAIN SAMA KAK ELLA! KABAR BURUKNYA ADALAH CALON-CALON PANGERANNYA MASIH RAHASIA!"

"YAAAH...." Suara siswi lain mengeluh bersamaan.

Riri pikir ada kabar yang jauh lebih penting dibanding itu. Dia mundur dan buru-buru pergi dari sana.

"Lo mau ke mana?" teriak Aneta.

Riri memang berlari kencang menuju taman sekolah. "Ada pokoknya!"

***

Ruang Terbuka di perpustakaan itu ternyata selalu sepi karena tidak menarik dan panas disaat siang. Pun buku-buku yang ada di rak-rak hanyalah buku-buku tua. Riri mencoba bertahan sejak tadi.

Pejaman mata Riri terbuka perlahan setelah dia memejamkan mata erat. Dia berharap saat membuka mata, sosok cowok yang selalu berada di pohon tiba-tiba muncul di pohon yang sama waktu itu.

Tetap sama. Cowok itu tidak muncul. Malvin juga tidak muncul saat Riri pura-pura meluangkan waktunya di istirahat pertama sepanjang waktu. Dia tidak mungkin tiba-tiba muncul di kelas Malvin dan justru hanya menjadikannya perhatian siswa-siswi di sana.

Meski rasa gugup menderanya sejak tadi, Riri sudah bertekad untuk melaksanakan tujuannya ke ruang itu, yaitu bertemu dengan Malvin untuk mengucapkan terima kasih.

"Iya, gue cuma pengin bilang makasih, kok." Riri bergumam sendiri. Ada yang bicara di kepalanya sejak tadi dan mengejeknya. "Gue bukan nyari alesan buat ketemu sama dia!"

Riri memandang pohon. Pohon itu seolah berbicara kepadanya, 'Malvin nggak akan ke sini.'

"Gue ngapain, sih?"

Imajinasi Riri mulai aneh. Riri berdiri dari bangku itu dan keluar dari ruang tersebut menuju perpustakaan. Dia duduk diam di sebuah bangku dengan suasana hati yang berantakan.

Rencananya tak berjalan dengan mulus.

Riri bertopang dagu dan membaca buku tanpa minat. Saat seseorang duduk menghadapnya di seberang meja, Riri tidak begitu peduli. Namun, saat tak sengaja melihat siapa yang ada di sana Riri langsung menunduk lagi.

"Masa lo mau ngehindarin gue terus?" Vernon memandangnya tanpa henti. Cowok itu menghela napas dan segera menutup buku yang baru saja dia buka. "Sori yang waktu itu."

Riri ikut menutup bukunya dan memberanikan diri untuk menatap Vernon. Tatapannya sangat serius dan terlihat galak, tetapi berbeda dengan degup jantungnya yang sangat kencang.

Degupan itu kencang sama halnya saat dia berhadapan dengan Malvin pagi tadi, tetapi kenapa rasanya ada yang berbeda?

"Emangnya lo siapa? Kita bahkan nggak kenal sebelumnya. Emang masuk akal lo tiba-tiba bilang suka ke cewek asing?"

Vernon perlahan melirik ke kiri dan kanannya, lalu memandang Riri sambil menghela napas. "Gue akui gue bohong." Dia tersenyum paksa. "Lo ingat sama cewek yang ada di toko buku waktu itu?"

Riri mengangguk pelan.

"Gue udah bilang dia bukan pacar gue, kan?" Vernon diam sebentar. "Ya, emang dia bukan pacar gue.... Gue juga sengaja bilang suka sama lo di situasi itu karena gue tahu Ruby ada di deket kita. Dia diam-diam ngikutin dan terjadi, gue refleks karena gue udah nggak tahan lagi sama Ruby yang ... ngejar-ngejar gue."

Riri mengerjap. Sungguh. Dia tidak begitu paham maksud Vernon yang berbelit-belit. "Maksud ... lo?"

Vernon berdeham. Dia meneguk ludah, lalu menghela napas. Senyum paksa kembali terbit dari bibirnya.

"Gue nggak tahan sama Ruby yang selalu ngejar-ngejar gue disaat gue udah muak sama kelakuannya. Jadi, satu-satunya cara adalah gue harus ngungkapin perasaan gue ke cewek lain. Supaya dia ... berhenti ngelakuin hal bodoh itu lagi."

***


 

Game Over: Bull's EyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang