Bukankah manusia di ciptakan memang untuk merasakan sakit juga perih? seperti halnya ketika muncul pertama kali di dunia, kita menangis. Jadi, air mata memang sudah ditakdirkan untuk kita rasa sepertinya.
Di dunia ini.
Air mata ada berbagai jenis penyebab. Mereka yang merasa kesal dengan amarah yang menjadi puncak, acap kali lebih memilih air mata ketimbang menghancurkan barang-barang. Mereka yang merasa lelah dengan hidup beserta sebakul ujiannya tak jarang pula menitih kan air mata sebab begitu muak tuk terlihat baik-baik saja. Serta, mereka yang beruntungnya menyicip euforia dunia yang tengah bahagia kelewat nikmat juga terkadang sampai mengeluarkan air mata saking meletup-letupnya kembang api di dalam rongga dadanya.
Banyak alasan makhluk hidup di bumi ini untuk menangis.
Dari beberapa opsi, tentu semua ingin jenis tangis yang terakhir—tangis bahagia. Tak terkecuali Jira. Sangat bosan dia membuat anak sungai di pipinya hanya karna opsi pertama dan kedua, sedang opsi yang terakhir hampir atau malah mungkin tidak pernah ia rasakan.
Jika tidak karna marah, pasti karna lelah. Jira letih sekali. Sungguh. Ingin mengakhiri saja, jika sudah begini Jira mau menghadap sang pembuat takdir. Menanyakan, mau nya apa. Tidakah bisa tolerir sedikit. Sekuat apapun seorang Min Jira, dia adalah manusia biasa yang punya titik lemah dan putus asa.
Menatap sungai Han di depannya dengan pandangan mengabur karna air kembali mengisi netra hazel miliknya, Jira menggigit bibir bawahnya kuat. Berharap dia tidak mengeluarkan suara sesenggukan yang mengundang kasihan.
Bahkan indra perasanya sudah merasakan besi yang menandakan bibirnya berdarah.
Tak apa. Itu tidak sakit.
Tidak sesakit saat tahu Nenek Chun koma.
Wanita tua itu tidak boleh pergi, Jira tidak mampu. Pokoknya jangan. Jika pergi, bagaimana Jira akan bertahan? terlebih. Untuk apa dia bertahan. Untuk siapa.
Sepi sekali, seolah dia benar-benar seorang diri di dunia ini. Seperti hidupnya tidak akan berarti tanpa Sua dan neneknya. Jika neneknya pergi, bagaimana bisa Jira menggantungkan bahagia juga kekuatannya pada sahabatnya itu. Tentu suatu saat Sua juga akan pergi, menikah memiliki keluarga.
Lalu, di pijakannya kini. Di hela nafasnya kini, Jira hidup untuk apa? bahagia tidak, punya cita juga tidak. Sudah dibilang, hidupnya berantakan. Jira tidak punya tujuan atau target yang mau ia gapai. Kuliah saja itu dia berniat berhenti. Sadar, uang yang ia punya tak cukup untuk membiayai. Bisa saja Jira berjuang, namun tampaknya kelewat lelah hingga rasanya berpasrah saja.
Kembali terkekeh miris diikuti setetas air mata yang jatuh untuk kesekian kalinya, Jira menghembuskan napasnya. Lirih.
"Apa aku tenggelam saja ya?"
Mengusap air matanya, gadis dengan kardigan hitam mulai berdiri. Berjalan mendekati tepian sungai. Hingga dapat di hitung, jika dia memajukan tiga langkah lagi, Jira akan masuk ke dalam air.
Namun di langkah keduanya, Jira berhenti. Merasakan panas kembali merangsek indra penglihatannya, dadanya sesak.
Mundur sebanyak dua langkah. Lalu tertawa.
Mungkin Jira sudah gila.
"Tidak, tidak sekarang. Baiklah, dengar—" dengan suara bergetar namun mencoba untuk tersenyum, Jira menatap ke langit Seoul yang sedikit mendung sore ini."Aku tidak akan mati sekarang, tapi jika kau mengambil nenekku. Mari bertemu, aku akan benar-benar lenyap."
.........
Jungkook sudah teramat bingung harus berbuat apa. Dua hari ini bocah itu tak se aktif biasanya, lebih banyak diam. Memainkan beberapa mainannya tanpa semangat, makan nya juga tidak selalu habis. Taehyung hampir dibuat pusing juga khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cage
Hayran Kurguketika Min Jira mulai lelah setengah mati hingga rasanya benci yang teramat pada takdirnya, Tuhan mengirim lelaki bersenyum kotak itu untuk mengisi lembar kisah hidup berantakannya. Namun. saat dia mulai memasuki fase bahagia, Jira lupa. Bahwa takd...