02.

74 6 0
                                    

"Kak, tolong bawain ini ke sekolah!" Teriak mamah dari dapur.

Ga ada jawaban.

"Kak?!"

Masih ga ada jawaban.

Mamah lantas menghampiri seorang remaja laki-laki yang fokus mainan game di hape pintarnya.

"Dek, suruh kakak turun dong."

"Ah, mah. Ga liat aku lagi rebahan?"

Mamah kelewat gemes liat kelakuan anak laki-lakinya. Beliau menoel sebelah kaki anaknya.
 
"Samperin kakak ke kamar gih. Bentar doang."

Bocah itu menggeliat pelan dan dengan malasnya bangkit dari sofa.

"Iya, mah. Iya."

Badannya yang tinggi menjulang dengan mudahnya melewati setiap dua anak tangga. Mempercepat dirinya sampai di kamar saudara perempuannya.

"Kak."

"Hm."

"Disuruh mamah turun tuh. Suruh anterin ke sekolah, gatau apa gitu."

"Apasih. Ngapain juga malem-malem ke sekolah."

"Gatau lah. Turun gih."

Sarah memutar kepalanya ke belakang. Ketenangannya ngerjain PR harus terganggu dengan kehadiran bocah cowok yang lebih muda dua tahun darinya.

"Heh, Mini. Kalo ngomong tu yang jelas. Jangan setengah-setengah."

"Kan gue jelas ngomongnya. Disuruh mamah turun. Elah."

Si mini meninggalkan kamar kakaknya dan kembali rebahan. Apalagi kalo ga buat mobile video game favoritenya.

"Dasar Kang Minhee."

Mau gamau Sarah harus nurut turun ke dapur. Bener aja, mamah udah pasang wajah siap tempur.

"Apasih mah? Ngapain malem-malem ke sekolah?"

Mamah menunjuk bekal makanan yang udah ditata rapi. Dan juga sebuah jas hangat.

"Bawain buat Wooseok."

Mata Sarah melotot.

"Mah!" Pekik Sarah.

Ngapain malem-malem harus nyamperin nenek lampir yang nyamar di tubuh cowok itu. Pake dibawain makanan sama baju anget segala.

"Sarah gamau." Protes Sarah.

"Sarah-"

"Suruh ambil sendiri aja kenapa?"

"Kasih itu buat Wooseok. Kakak dianter bang Aji ke sekolah. Kamu ga kasian, dia udah kelas tiga, pasti ga kepikiran makan."

Sarah menggaruk belakang kepalanya. Heran sama mamahnya sendiri yang kelewat perhatian sama anak orang.

"Gamau ah, mah."

"Sarah sayang-"

Sarah menghentakkan kakinya pelan. Gabisa dia tuh kalo mamah udah ngebet gitu. Kalo ngamuk bisa dipotong uang jajannya sebulan.

Dengan setengah hati dan muka ditekuk, Sarah harus nurutin perintah mamah.

"Iya, iya. Sarah ganti baju dulu."

"Gitu aja repot." Komentar Minhee masih dengan hapenya.

"Diem lu."

***

"Apalagi nih bocah-"

Wooseok menggerutu kesal ditengah jam belajar malamnya di kelas. Sebuah panggilan masuk dari orang yang mengganggunya lebih sering akhir-akhir ini.

"Halo."

Kak Wooseok dimana?

Temen-temen sekelas Wooseok yang tadinya fokus belajar, sekarang jadi ngeliatin ke arah cowok itu. Mereka denger suara cempreng dari telefon Wooseok.

Terpaksa Wooseok harus keluar kelas karena ga merasa nyaman diliatin anak sekelas. Ditambah ada Joy yang duduk di sebelahnya.

"Ngapain? Udah jelas gue lagi di kelas, belajar."

Yaudah gue samperin ke kelas.

Tutt

"Dimatiin. Dasar bocah."

"Kak Wooseok!"

Wooseok berbalik dan dilihatnya Sarah nyamperin dia sambil bawa bungkusan besar.

Wooseok menatapnya malas.

"Dari mamah. Jangan salah paham."

Sarah melempar asal bungkusannya ke arah Wooseok. Bodo amat mau jatuh apa gimana, dia emang gak ikhlas dari awal bawain ini buat Wooseok.

"Kalo bukan dari mamah lo, gue buang ini semua."

Sarah makin kesel.

"Kalo bukan mamah juga yang nyuruh, gue ga bakal repot-repot kesini. Males!"

Wooseok memandang punggung Sarah yang makin menjauh.

Bocah itu, dia udah kenal sejak masih bayi. Keluarganya dan keluarga Sarah yang kelewat dekat, membuat mereka, para penerus generasi jadi ikutan dekat.

Hubungan mereka berdua sangat dekat, bahkan Wooseok rela setiap hari main ke rumah Sarah meski sekedar jahilin Sarah.

Tapi semua itu berubah semenjak pengumuman perjodohan mereka dua bulan lalu. Dia dan Sarah sama-sama menolak dan ga setuju dengan hal yang mereka anggap ga masuk akal.

Dan penolakan itu mereka ekspresikan dengan saling membenci satu sama lain.

Meskipun kedok orang tua mereka adalah sebagai ekspansi usaha dua keluarga, Wooseok ga pernah bisa melihat itu sebagai usaha terbaik.

Lagian, mereka juga masih sekolah. Masih SMA. Dia sibuk dengan persiapan masuk kuliah, dan Sarah juga lagi ribet-ribetnya ngurus ekstra di sekolah. Ini terlalu rumit untuk anak seusia mereka.

Mau sampai kapanpun, Wooseok gamau ada perjodohan ini. Dia juga ga rela Sarah dipaksa untuk nikah sama dia.

Ga. Wooseok gamau dipaksa nikah sama Sarah. Dia cuma mau nikah dengan pilihannya. Titik.

"Dari siapa?"

Joy menyambut Wooseok yang balik ke kelas sambil bawa bungkusan setelah menerima sebuah telfon.

"Oh, ini. Dari orang rumah."

Wooseok naruh bungkusan dari Sarah di atas meja dan lanjut ngerjain latihan di buku. Berusaha fokus dengan apa yang dipelajari.

Sementara Joy masih menebak-nebak kenapa Wooseok lebih banyak diam akhir-akhir ini.

"Kalo capek, istirahat dulu aja. Jangan dipaksa."

Joy membujuk Wooseok pelan untuk rehat sejenak. Joy pikir pacarnya itu kelelahan belajar. Keliatan dari mukanya yang agak pucat.

"Gapapa."

Wooseok mencoba tetep tenang. Dia gamau Joy tau soal perjodohannya sama Sarah. Dia belum sepenuhnya yakin kalo Joy siap denger berita soal perjodohan ini.

Misinya untuk sementara adalah, protect the princess.











... to be continued

Missing | Kim Wooseok Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang