49. Sakit hati yang tidak boleh merasakan sakit

63 6 0
                                    

Sekujur tubuhku mendingin, menggigil, geletuk gigi, kaku. Aku eja satu per satu kata, tanpa sadar sebuah busur menikam dari belakang. Aku tersedak, terjatuh, meringkuk sakit. Sensasi terbakar, jantungku terpompa terlalu cepat, akal sehatku pergi, dan aku masih berorasi tanpa henti. Enyahkan segala luka, pura-pura buta, tidak mau melihat, berusaha waras, tapi... nyatanya, untuk berdiri di kedua kakiku saja rasanya seperti sekarat.

Aku tidak akan berdusta, ucapku bukan sebuah kepalsuan saat berujar, 'Ini sungguh sakit.' Kau tak bisa paham, aku bahkan lebih tak paham mengapa harus merasa kesakitan. Aku merendahkan perasaanku sendiri, mendiktenya untuk tidak merasakan sakit hati, sedang sebaliknya, sakitnya telah membuatku kebas berkali-kali. Aku rela membohongi diri sendiri untuk membahagiakan orang lain. Tapi, apa? Mereka yang memberiku punggung dan buta akan segala hal. Mereka yang tidak peduli dengan kepedulianku.

Aku bodoh dan aku tidak mau melakukan hal yang sama untuk kedua kali.

Kepercayaanku ditikam, sayangku dibuang, cinta-cinta yang mengudara tidak lagi ada artinya. Aku akan mengatakan hal-hal yang aku benci, yang tidak bisa aku sampaikan karena begitu menghormati perasaan orang lain.

Ah, memang sebaiknya aku menghormati perasaanku sendiri terlebih dahulu, menempatkannya di singgasana paling atas agar tidak mudah dilindas. Salahku, tapi ingat, ini tidak akan terjadi untuk yang kedua kali. Cukup. Teramat cukup untuk membuatku kecewa dan kembali mencintai diriku sendiri.

Tidak semua yang kita pandang baik akan berujung baik pula. Waktu membawa kita pada bilik-bilik ruang yang tertutup, yang pada mulanya terkunci dan tak dapat kita hirup. Kala terbuka dan terbongkar, biar yang melihat dan perasa memilih opsinya: tinggal atau meninggalkan.

Aku akan menyingkir pelan-pelan.

Bertahan akan aku asingkan, menjadi asing dari yang terasing, menjadi jauh dari yang paling jauh. Aku tidak ingin akrab dengan kata itu untuk hal-hal yang telah menyakiti dan mencipta luka hati. Aku akan melindungi diriku sendiri, menyusun kepingan rasa yang luluh lantak, membawanya pergi jauh dari definisi patah.

Aku kuat dan eksistensiku tetap ada sebab aku mencintai diriku sendiri. Aku mencintai kebahagiaanku. Aku mencintai kesedihanku. Aku mencintai rasa sakitku.

Aku berhak menyuarakan perih hatiku, berhak memuntahkan amarahku, berhak menggelegarkan tawaku, berhak tersenyum sepuasku.

Aku juga berhak meninggalkan apa-apa yang menjadikanku pribadi buruk.

Aku kuat, maka aku akan tinggalkan apa-apa yang menurutku baik, tetapi ternyata, tidak sekali pun aku butuh. Aku akan tinggalkan mereka yang membuatku terpuruk, yang membuatku lupa untuk menghargai perasaanku sendiri.

Aku ...

Ini sakit, tetapi pada akhirnya, aku tahu apa yang harus aku lakukan.

[16/04/20]
Agak sedikit terlambat, tapi hari ini aku mendapatkan peganganku kembali.

Perlina akan kembali ke target awal. Buku ini akan terus menjadi wadahku berceloteh sampai berpuluh-puluh part.

Terima kasih :)

PERLINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang