"Semester depan sudah ujian, ya. Ibu ingin semua anak didik ibu di kelas ini lulus dengan cepat."
"Setelah lulus, kamu ikut private pengembangan diri, ya. Biar nggak malu-malu dan bisa public speaking. Itu penting, loh, di dunia kerja."
"Mau lanjut atau kerja dulu?"
"Pas wisuda, pakai kebaya setelan, ya. Nanti kita ke studio buat foto. Wah, jadi nggak sabar!"
Belakangan kalimat-kalimat itu lebih sering mampir dan menggempur isi otakku, melakukan repetisi tanpa ampun, dan tidak mengenal lelah. Aku tahu itu semua adalah bentuk dari doa-doa, terselip harapan tulus agar aku menjadi orang. Namun, agaknya aku menanggapi mereka dengan sangat berlebihan. Ah, tidak. Diriku menjadi terlalu sangsi akan bisa mewujudkan ekpektasi yang bersemayam di kepala.
Hari ini aku mendengarnya untuk ke sekian kali dan aku hanya mampu menanggapi dengan anggukkan kaku bersama senyuman tipis. Ada sesuatu yang menahanku untuk menjadi antusias sebab semakin sering harap-harap itu dicetak di dalam kepala, ketakutanku tumbuh sama besarnya.
Bagaimana bila aku gagal?
Diriku seperti berada di pojok kegelapan dalam sebuah ruang, lalu menatap individu-individu gemerlap di luar jendela. Mereka berpesta sambil angkat bintang di tangan, sedangkan aku masih berkubang dengan kabut pekat. Rasanya,... aku telah tertinggal.
Seharusnya aku tidak sepesimis ini. Aku tahu, tetapi aku juga tidak bisa berbohong dan terus mengatakan bahwa, 'aku mampu, aku mampu, aku mampu,' sedangkan sosok di dalam diri terkekeh gemas dan menyeringai tajam, lalu menyangsikan segala keyakinanku, 'yakinkah kau semampu itu?'
Ujungnya, magnet keraguan itu lebih besar menarikku. Aku lebih percaya bahwa keyakinanku hanya omong kosong dan diriku sendiri nol dalam harapan. Payah, sekali.
Ah, aku ingin bergelung dalam selimut dan tidur lelap berminggu-minggu untuk lenyapkan pemikiran tak berguna yang tumbuh teramat subur. Sialan. Kenapa otakku rasanya ditempa besi berkarat yang panas?
Sudahlah, aku tahu tidak ada cara lain untuk menghadapi diriku sendiri yang bebal selain melawannya dan menghajarnya agar kembali pada optimisnya yang entah tersimpan di mana.
[05/06/20]
tentu saja aku tidak akan diam. katanya, waktu akan terus bergerak maju, bila aku tidak langkahkan kaki, maka akhirnya aku pun tidak mendapatkan apa-apa.aku tidak sendiri, teman-temanku memerjuangkan hal yang sama. aku tahu dan paham jelas.
...seperti ini pada akhirnya, aku seret kakiku yang dijangkari keraguan, untuk mengejar apa yang bisa aku dapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERLINA
PoesíaMaaf, sayap rumpangku lagi-lagi patah, derai-derai air mata luluh lantak, dan karang-karang kuatku kini seringkih sutra. Tetapi, inilah caraku untuk tetap hidup dan bertahan. Sebab, andai aku gagal membuat diriku terlihat, biar aksaraku yang mengab...